Kesiapan aktor terhadap Ruang Publik

Pada dasarnya aktor yang baik harus cerdas, rajin dan gigih, syarat-syarat yang mutlak untuk dimiliki oleh seorang yang hendak mengklaim dirinya dengan “jenis kelamin” aktor. Dalam penyelenggaraan Festival Monolog 2 FTI di ruang-ruang publik, kriteria-kriteria di atas dapat terlihat dengan sangat jelas dalam eksekusi pementasan para aktor, seperti kecerdasan aktor akan teruji ketika dia harus menafsir kata ruang publik hingga mampu mengeksplorasi segala kemungkinan bentuk konsep yang cocok untuk kedekatannya dengan ruang dalam melakukan seni pemeranan atau dalam hal ini melakukan monolog.

Pada perhelatan Festival Monolog 2 FTI kali ini, yang diikuti oleh 17 peserta menghasilkan keragaman konsep yang ditafsir para monologer terhadap ruang publik, sehingga juri mengklasifikasi bahwa terdapat 3 kecenderungan para kreator dalam konsep pemanggungannya:

1. Konsep pemanggungan dalam sebuah plot yang cukup jelas namun sangat mengandalkan spontanitas dan keadaan dari ruang yang dipilih. Dalam konsep ini dilakukan oleh hampir sebagian aktor seperti Matroji, Herlina Syarifudun, dll.

2. Konsep pemanggungan yang mencoba cair dengan memperkenalkan kepada khalayak peristiwa yang akan di buatnya (istilah Yosef G, “bentuk tradisi”). Seperti yang dilakukan oleh Apito Lahire dan Pepeng.

3. Konsep yang bisa dikatakan asyik pada diri sendiri, dimana actor mencoba merepresentasi narasi personal. Bentuk seperti ini dilakukan oleh Sir Ilham dan Lucky Moniaga. Konsep secara keseluruhan para aktor hampir semuanya baik walau ada juga beberapa yang hanya memindahkan pertunjukan dari panggung ke ruang eksternal panggung.

Tidak sampai pada konsep, para aktor dalam eksekusinya sangat dituntut untuk siap dalam menghadapi ruang yang sangat besar dan juga perubahan-perubahan yang mungkin saja terjadi setiap saat. Hal ini yang membuat kesimpulan para juri dalam menilai bagaimana kesiapan aktor dalam mengikuti Festival Monolog ini, dan juga kegigihan sang aktor dalam melatih dirinya dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan khususnya dalam berperan di ruang publik.
Untuk itu Festival Monolog FTI sangat penting dilakukan karena mampu menelurkan para aktor-aktor muda yang siap pakai seperti tahun 70 dan 80-an. Serta Festival monolog di ruang-ruang publik ini juga menjadi menarik karena sangat banyaknya kemungkinan yang dapat terjadi dan tempat menguji kesiapan aktor yang “membumi”. Dalam targetnya festival monolog di ruang publik ini juga membuat tidak adanya pembatas antara masyarakat terhadap kesenian (teater khususnya), dan tidak menjadi asing bagi masyarakat.

Jakarta, 30 November 2009


Ahmad Olie Sopan

0 komentar: