Failure : I wish all the wounds will healed

Using the Guardian as a shield,
to cover my thighs against the rain,
I didn't mind about my hair.
Your jacket may be waterproof,
but knowing the moment you get home
you're gonna get your trousers changed.
Failure is always the best way to learn,
retracing your steps 'til you know,
have no fear your wounds will heal.
I wish I could travel overground
to where all you hear is water sounds,
lush as the wind upon a tree.
I wish I could travel overground
to where all you hear is water sounds,
to capture and keep inside of me.
Failure is always the best way to learn,
retracing your steps 'til you know,
have no fear your wounds will heal.
Failure is always the best way to learn,
retracing your steps 'til you know,
have no fear your wounds will heal.

another KOC..

By Tiffany Pratiwi Suwandi/Sandiwara

mimpi malam itu

gadis itu bersandar di sebuah kendaraan
entah apa itu
meringis kesakitan nampaknya
tak kuasa ia menahan sakitnya

dan tanpa ba bi bu
seorang satria datang menawarkan bantuan
menanyakan apa yang ia rasakan
tak kuasa pula sang gadis untuk menolak bantuannya

dibawanya ia ke tempat yang nyaman
dingin
berangin
sejuk
entah dimana
entah tempat apa itu
tapi tempat itu,
tempat yang nyaman dan obat yang ampuh sebagai penangkal sakitnya
ia duduk di sebuah kursi kayu
disebelahnya berdiri sang satria
membelainya halus untuk menenangkannya
berusaha membebaskan sang gadis dari deritanya

gadis itu menumpahkan semua rasa sakitnya kepada sang satria
menangis di dadanya
merasa aman karenanya
kata yang terucap hanya "sabar ya"

tak rela siapapun untuk merebut rasa itu
tak rela siapapun merebut kisah itu
tak rela pula apapun menghalangi waktu itu
terlebih lagi
gadis itu tak rela pula siapapun
merebut satria nya

*begitulah saya coba mendeskripksikan mimpi
yang tidak pernah rela pula untuk saya akhiri
TERBANGUN kadang hal menjadi yang sangat 'menyebalkan' saat mimpi indah itu datang

By Yunita Triana Sambas/Oxygen

Menulis Naskah Drama

“Kita semua adalah mahkluk kreatif, dan kreatifitas adalah seperti otot yang akan menguat jika kita terus melatihnya.” (Indra Suherjanto).

A. Proses Kreatif

Menulis naskah drama merupakan kegiatan proses kreatif. Kreatifitas menyangkut tahapan pemikiran imajinatif: merasakan, menghayati, menghayalkan, dan menemukan kebenaran. Untuk mendalami proses perjalanan melihat, mendalami, dan mewujud tersebut perlu fase-fase proses dengan pola:

1. Merasakan

Merasakan adalah bagian terpenting dari panca indera manusia. Segala sensasi dalam diri manusia selalu dengan fase merasakan. Merasakan diartikan sudah melewati proses melihat, mendengar, dan menyerap.

2. Menghayati

Menghayati diartikan mendalami atau merasakan betul-betul temuan-temuan yang telah dilakukan pada fase merasakan. Indikator menghayati adalah sampai pada kesadaran pribadi terhadap sensasi yang diperolehnya.

3. Menghayalkan

Menghayalkan adalah fase memunculkan kembali apa yang telah dirasakan, apa yang dihayati dalam wujud khayalan dengan harapan memperoleh hayalan-hayalan lain yang baru.

4. Mengejawantahkan

Mengejawantahkan adalah fase mewujud dari tiga proses sebelumnya. Fase ini perlu menggunakan filter estetik agar curahan-curahan hasil fase sebelumnya lebih bernilai.

5. Memberi Bentuk

Memberi bentuk adalah fase penguatan pengejawantahan dengan proses alamiah, mengalir, dengan menggunakan simbol-simbol dan metafora sehingga keinginan dan angan-angan dapat menjadi sebuah karya.

B. Menciptakan Konflik

Kreatifitas pengarang dalam menulis naskah dapat dilihat dari kemampuan pengarang menciptakan konflik dengan surprise atau kejutan-kejutan, menjalin konflik-konflik tersebut, dan memberikan empati dalam penyelesaian konflik. Konflik biasanya dibangun oleh pertentangan tokoh. Pertentangan karakter, pertentangan visi tokoh, pertetangan pandangan dan ideologi tokoh, lingkingan, nilai-nilai dan sebagainya. Plot atau alur drama ada tiga, yaitu:

1. Sirkuler (cerita berkisar pada satu peristiwa saja),

2. Linear (cerita bergerak secara berurutan dari A-Z),

3. Episodic (jalinan cerita itu terpisah/ terpotong-potong dan kemudian bertemu pada akhir cerita).

C. Menciptakan Tokoh

Kehadiran tokoh/ pelaku dalam sebuah drama menjadi penting. Tokoh atau pelaku akan mejadi penentu gerak alur cerita ( protagonis, antagonis, tritagonis). Tokoh sangat berperan dalam menjelaskan ide atau inti cerita yang dibangun. Kehadiran beberapa tokoh pendukung juga memberi kesan tersendiri dari sebuah naskah drama. Tokoh berperan penting dalam membangun konflik naskah. Bisa jadi tokoh tidak menyelesaikan masalah tersebut. Namun, kekuatan sebuah naskah drama adalah kuatnya karakter yang dibangun oleh penulis dalam mendeskripkan seorang tokoh agas sutradara paham betul membentuk karakter tersebut.

D. Menciptakan Dialog

Apalah arti hadir seorang tokoh tampa sebilah kata. Itulah hal utama yang perlu diperhatikan dalam menampilkan dialog. Dialog yang dibawakan tokoh/ pelaku merupakan salah satu aspek esensial yang ada dalam naskah drama. Bila bentuk dialog disertai dengan lakuan akan lebih memperjelas maknanya. Muatan emosi, konsep, dan perasaan tokoh disampaikan melalui dialog.

E. Menciptakan Simbol

Naskah drama sebagai karya sastra merupakan proses kreatif individu pengarang yang berbicara tentang dirinya yang disajikan secara tidak langsung atau dengan menggunakan symbol-simbol bahasa, gerak, dan bunyi.

F. Menciptakan Naskah Berbobot

1. Menampilkan gagasan baru melalui pemikiran imajinatif.

2. Memiliki konflik dengan surprise (kejutan-kejutan), kaya suspense (ketegangan) sehingga memikat untuk dibaca atau dipentaskan.

3. Menghadirkan tokoh sebagai penentu gerak alur cerita.

4. Memiliki dialog yang bermuatan emosi, konsep, dan perasaan tokoh disertai dengan lakuan.

5. Menggunakan simbol-simbol bahasa, gerak, dan bunyi.

6. Menampilkan problem kehidupan manusia, mengandung aspek moral, dan mengandung nilai-nilai pendidikan.

….Selamat Mencoba….

KIAT PENULISAN LAKON

Untuk menyusun naskah lakon, yang diperlukan mula-mula adalah gagasan. Tidak semua hasrat atau keinginan adalah sebuah gagasan. Gagasan atau ide dalam menulis lakon, adalah hasil perenungan dan pemikiran.. Dalam hubungan dengan kerja kreatif, gagasan atau ide adalah apa yang biasa disebut “inspirasi”.

Kita hindari istilah inspirasi atau ilham untuk sementara, karena apa yang disebut ilham sering dihubung-hubungkan dengan karunia Tuhan. Akibatnya banyak orang terkecoh lalu hanya menunggu untuk mendapatkannya. Padahal semua yang ada di dunia ini adalah karunia Tuhan. Yang disebutkan dengan gagasan di sini adalah hasil perenungan, hasil pemikiran, hasil kontemplasi. Bahkan mungkin hasil diskusi dan rembugan-rembugan, baik dengan diri sendiri, denganm orang lain atau pemahaman kebenaran yang lain.

Di dalam gagasan ada sesuatu yang baru, yang berbeda, yang lain dari yang sudah ada dikenal. Itulah yang menyebabkan seorang penulis lakon perlu melahirkan, mendeklarasikannya, agar dikenal oleh orang lain. Apakah gagasannya bagus dan berguna atau sebaliknya, sangat tergantung pada benturannya dengan sekitar setelah lahir sebagai lakon.

Jadi gagasan, walau pun merupakan cakal-bakal, tetapi yang kemudian menentukan adalah pengembaraannya sebagai naskah. Untuk itu diperlukan ketrampilan untuk mewujudkan gagasan itu menjadi lakon yang baik. Lakon yang baik, bukan saja gagasannya bagus, tetapi juga memenuhi persyaratan sebagai sebuah lakon, yakni punya daya pukau sebagai tontonan.

Tema adalah wilayah yang menunjuk, sudut kehidupan yang mana yang akan digarap. Ke dalam tema yang menjadi flatform dari naskah itu kemudian dipancangkan gagasan yang merupakan hasil pemikiran penulisnya. Lalu dicari batang tubuhnya berupa cerita.

Cerita tidak selamanya berjalan lurus, runtun. Dapat acak, sama sekali tanpa aturan atau kacau, sehingga nyaris bukan cerita tetapi hanya suasana-suasana. Cerita yang bertutur membuat lakon menjadi potret atau representasi kehidupan. Yang tidak bertutur, adalah pemikiran, sikap dan rumusan-rumusan yang mengandung nilai-nilai yang dipakai dalam menghadapi fenomena-fenomena kehidupan yang baru.

Dalam membangun cerita akan muncul berbagai kebutuhan terhadap: waktu, tempat, tokoh-tokoh, kemudian alur, plot, konflik dan sebagainya. Juga akan timbul masalah-masalah teknis yang mungkin akan dijumpai dalam pelaksanaannya, sehingga penulis mesti memikirkan jalan keluarnya. Sedangkan untuk rumusan-rumusan nilai yang diperlukan adalah statemen-statemen tajam yang menggugah yang sering berbau pemberontakan dan pembaruan, agar lebih menggigit.

Terakhir adalah pesan moral. Muatan apa yang mau disampaikan oleh penulis, baik secara langsung maupun tak langsung. Watak, idiologi, pandangan hidup, filosofi penulis naskah dapat dibaca dari isi pesan moral dan cara menyampaikannya. Naskah yang tak memiliki pesan moral pun adalah sebuah pesan moral.

Seperti dalam proses pembuatan bangunan, penulis adalah seorang arsitek sekaligus pemborong proyek. Ia berpikir tentang konstruksi bagaimana membuat sesuatu yang kuat dan indah. Ia memikirkan dengan cermat wujud naskah itu.

Bila gagasannya memerlukan wadah besar yang spektakuler, berarti naskah itu akan terdiri dari banyak babak sehingga durasinya sampai beberapa jam. Atau sudah cukup satu babak, sekitar satu jam, sehingga padat dan tajam. Di sini seorang penulis menentukan strategi dan konsepnya.

Konsep adalah strategi untuk menerapkan gagasan. Inilah pergulatan yang sebenarnya bagi setiap penulis lakon: bagaimana memindahkan gagasannya menjadi sebuah tontonan. Untuk itu ia harus memahami benar seluk-beluk seni pertunjukan. Ia perlu menguasai teknik-teknik penulisan, sehingga ia bebas untuk menuangkan gagasannya. Ia tidak terhalang oleh persoalan-persoalan teknis, sehingga konsentrasinya pada usaha menuangkan ide tidak terhambat.

Di dalam menuangkan gagasan menjadi lakon juga diperlukan “gagasan-gagasan”. Jadi bukan hanya isi, kemasan lakon pun harus memberikan “gigitan”. Bentuk, struktur, cara menyampaikan pesan, bahasa, gaya, jenis tontonan yang hendak dicapai, semua itu bukan hanya sekedar alat, tetapi bisa menjadi isi itu sendiri. Bahkan pesan yang klise dan sangat sederhana, tentang pengorbanan, misalnya, bisa menjadi baru karena cara menyampaikannya berbeda dari apa yang biasa dilakukan.

Naskah yang menggigit baik isi maupun kemasannya disebut “berdarah” atau “memiliki daya tendang”. Artinya lakon itu tidak hanya sekedar bualan kosong. Bukan semata-mata memukau karena pasang surut ceritanya. Tetapi karena mengandung sesuatu yang benar-benar penting, jitu atau baru. Pengemasan yang pas, tajam atau unik membuat naskah itu punya nilai lebih. Unsur pembaruan menyebabkan isinya yang sebenarnya biasa, bisa menjadi luar biasa.

Mengubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, umumnya dicapai dengan melakukan penggalian dan pendalaman. Persoalan cinta biasa antara dua remaja, bila digali lebih mendalam lagi, dimunculkan kompleksitasnya, tiba-tiba menyeruak menjadi masalah kemanusiaan yang universal. Cerita Romeo Dan Juliet karya Shakespearre , misalnya, bukan hanya masalah percintaan tetapi menampilkan masalah-masalah mendasar kemanusiaan.

Cara lain adalah dengan menukar sudut pandang. Sebuah pembunuhan dalam negara hukum akan berakhir dengan terhukumnya pembunuhnya. Tetapi dengan menggeser sudut pandang, pembunuh itu bukan dipenjarakan, tapi malah dinobatkan menjadi pahlawan. Kenapa? Sebab pembunuh itu sudah berhasil menggoyang hukum yang tidur untuk beringas dan aktip kembali menegakkan keadilan.

Sudut pandang adalah bagian penting di dalam apa yang semula kita sebut gagasan. Diperlukan keberanian dan juga kejujuran untuk memandang sesuatu keluar dari kebiasaan umum. Tujuannya bukan hanya sekedar keluar, bukan hanya untuk berbeda, tetapi karena ada keyakinan, bahwa dengan mampu melihat dari sudut pandang yang lain, kebenaran lebih terburai atau muncrat.

Bila sebuah lakon tak hanya menghibur, tak hanya menarik, tapi dapat membawa penonton pada kebenaran yang lain, dia menjadi penting. Naskah tidak hanya akan menjadi sebuah persiapan untuk sebuah pementasan, tetapi pengetahuan dan pencapaian kultural. Sebagaimana yang terjadi pada “Waiting For Godot”. Karya Samule Beckett yang memenangkan hadiah nobel itu adalah sebuah penemuan yang fenomenal. Beckett mencatat bahwa di samping lahir dan mati, pada hakekatnya semua manusia adalah menunggu.

Gagasan yang bagus dapat hancur berantakan apabila tidak terkemas dengan baik. Karena itu sebelum menulis lakon, seseorang harus mengenal dulu teknik penulisan lakon. Umumnya pengemasan lakon memerlukan beberapa unsur yang membuat hasilnya pas sebagai tontonan. Karena untuk itulah lakon dibuat. Lakon yang ditulis hanya untuk dibaca biasa disebut drama “kloset”.

Sebagai tontonan, lakon harus memikat. Cerita akan memikat kalau memiliki plot. Plot akan memukau bila mengandung empathi. Empathi akan menjadi sempurna kalau dibumbui dengan ketegangan, konflik dan humor. Ada juga yang menyelipkan kritik-kritik sosial, konteks dari lingkungannya, sehingga lakon menjadi membumi dan memiliki komitmen sosial.

Naskah lakon dibuat untuk kemudian dipentaskan sebagai pertunjukan. Kemungkinan-kemungkinan tontonan yang ada di dalam naskah itu menjadi penting. Kemungkinan tersebut ada yang sudah dicantumkan secara tertulis oleh penulisnya, tapi ada juga yang lahir akibat persentuhan dengan sutradara dan pemain. Semakin banyak kandungan kemungkinan yang ada dalam sebuah naskah, membuat naskah itu semakin kaya.

Sebuah naskah lakon yang kaya memberikan kesempatan kepada sutradara, pemain serta penata artistik mengembangkan lakon itu sehingga ia menjadi seperti tambang emas yang tak habis-habisnya digali. Di dalamnya juga termasuk ruang-ruang yang diberikan kepada penonton. Naskah yang bagus akan membuat penonton tak hanya penikmat yang pasif. Penonton akan hidup dan ikut mencipta di dalam imajinasinya, sehingga pertunjukan benar-benar merupakan sebuah dialog gencar antara tontonan dengan penonton sehingga menciptakan pengalaman spiritual.

Sebuah naskah lakon yang baik akan menciptakan pengalaman batin yang membuat penonton mengalami ekstase. Naskah yang kuat memberikan rangsangan kreatif pada semua yang terlibat di dalam pementasan. Baik naskah standar yang konvensional atau naskah kontemporer yang multi iterpretasi, kalau ia berdarah, mengandung kekayaan sebagai seni pertunjukan, ia tidak akan bersifat temporer, tetapi abadi. Naskah lakon yang baik tetap berdarah di segala zaman dalam konteks dan referensi yang berbeda-beda. Setiap kali dipentaskan ia akan mentransformasikan dirinya menjadi aktual dan baru.

II.CATATAN DARI LAPANGAN

Berikut catatan dapur saya di lapangan untuk perbandingan:

Saya menulis lakon sejak saya masih SMA. Tetapi lakon-lakon itu masih merupakan ,ide-ide mentah yang belum disentuhkan dengan pengalaman lapangan. Naskah-naskah yang saya tulis adalah drama kloset. Drama yang hanya untuk dibaca, miskin dari kemungkinan pemanggungan.

Setelah saya mulai main drama (Badak:Anton Chekov, Barabah:Motinggo Boesye dan Selamat Jalan Anak Kufur:Utuy Tatang Sontany, Pelacur:Sartre), baru saya memahami hubungan naskah dengan pementasan, memahami hubungan naskah dengan penonton. Sejak itu saya mulai menulis naskah di Jogja tidak lagi untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Dalam periode itu saya menulis Bila Malam Bertambah Malam, Dalam Cahaya Bulan (1964). Kemudian Lautan Bernyanyi (1967), Tak Sampai Tiga Bulan (1965), Orang-Orang Malam (1966). Semuanya ditulis dan kemudian saya mainkan.

Pada tahun 1966, ketika membuat parade drama di gedung BTN Jogja, saya melakukan monolog spontan berjudul Matahari Yang Terakhir. Berlangsung bagus. Sesudah main baru naskahnya dituliskan. Menjadi lebih jelas lagi bahwa lakon ditulis bukan untuk dibaca tetapi untuk dimainkan. Kini saya sering memainkan monolog lebih dahulu dan sesudahnya baru ditulis. Misalnya Merdeka dan Zmar.

Setelah menulis naskah untuk kebutuhan pementasan, saya ikut pementasan Waiting For Godot (1969) Bengkel Teater, bermain sebagai Pozzo. Terpengaruh oleh naskah itu, antara tahun 1971 s/d 1980 saya mulai menulis naskah untuk berekspresi. (Aduh, Edan, Anu, Dag-Dig-Dug, Hum-PimPah). Kecuali Dag-Dig-Dug, semuanya juga saya mainkan dengan Teater Mandiri di Jakarta.

Pada tahun 1975 dan 1976 saya membuat pementasan tanpa memakai naskah (Lho, Entah, Nol). Tidak ada cerita. Yang ada hanya suasana dan gambar-gambar. Pementasan Lho yang dipersiapkan selama 4 bulan, sangat visual, mengagetkan penonton dan mendapat sambutan bagus sekali. Pengunjung sampai membludak selama 3 hari di Teater Arena TIM. Tetapi pementasan selanjutnya penonton menipis dan akhirnya sangat kurang waktu NOL. Waktu itu saya menyimpulkan yang dibutuhkan oleh penonton adalah cerita. Saya kembali kepada kata-kata.

Setelah itu saya kembali membuat naskah yang penuh kata-kata untuk pementasan (Dor, Blong, Awas, Los, Gerr, Zat, Tai, Front, Awas, Aib, Wah). Di dalamnya ada cerita, karakter dan konflik. Tetapi saya tidak berkiblat kepada realisme. Teater saya cenderung menjadi teater seni rupa.

Pada 1985 – 1988, saya berada di Amerika dan membuat naskah, hanya untuk membuat naskah (Aeng, Aut, Jreng-Jreng-Jreng, Bah, Hah). Naskah-naskah itu sampai sekarang belum pernah saya pentaskan.

Pada 1991 s/d 2003 saya sama sekali tidak membuat naskah dan hanya melakukan pementasan-pementasan (Wesleyan, New York, Cal Art, Seatle, Brunai Darusssalam, Tokyo, Hong Kong, Taipeh, Singapura, Kyoto, Hamburg, Cairo) tanpa naskah (Yel, Yel II, Bor, The Coffin is too Bif for The Hole, War, Zoom, Zero). Saya membuat sekumpulan monolog yang terhimpun dalam buku DAR-DER-DOR.

Sejak 2003 saya mulai lagi menulis dan memainkan monolog (Kemerdekaan, Demokrasi, Mulut, Merdeka, Memek, Perempuan, Pahlawan, Surat Kepada Zetan, Zmar) selanjutnya sejak 2004 saya kembali menulis lakon untuk pementasan (Jangan Menangis Indonesia, Zetan, TVRI). Dalam perjalanan saya sebagai penulis, gagasan yang ada dalam setiap naskah terlahir didorong oleh beberapa kebutuhan. Pertama kebutuhan untuk memiliki naskah sendiri. Dengan naskah sendiri kebebasan mengembangkan tontonan akan lebih leluasa. Di samping itu selesai pementasan, hasilnya akan tetap ada berupa naskah. Jadi sekali kerja dua hal tercapai.

Kebutuhan lain yang mendorong adalah hasrat untuk berekspresi, berdialog dengan penonton, memberikan kesaksian-kesaksian yang personal tentang kejadian di sekitar. Saya merasa punya sudut pandang yang lain dengan umumnya pandangan di sekitar. Tak ada maksud untuk memenangkan pandangan sendiri, hanya ingin berbagi, mengutarakan kepada masyarakat bahwa perbedaan itu harmoni yang dinamis.

Yang juga mewarnai gagasan itu adalah kompromi terhadap kondisi pemain, keadaan sarana serta keterbatasan biaya produksi yang semuanya kemudian membentuk sikap dasar saya dan Teater Mandiri (berdiri tahun 1971 di Jakarta) untuk berkiblat pada : Bertolak Dari Yang Ada. Yakni usaha untuk memanipulasi kekurangan menjadi kekuatan dengan mengoptimalkan apa yang dimiliki. Dengan cara itu tak ada yang tak mungkin dalam setiap produksi.

Pemain-pemain saya sebenarnya bukan pemain tapi orang-orang biasa. Mereka bukan aktor. Ada tukang sapu dan maling kecil yang tak bisa membaca. Orang cacad. Ibu rumah tangga. Bahkan pernah suami-sitri pemulung ikut dalam produksi ( Kasan dan Kamisah dalam lakon Anu, 1974) Keterlibatannya pada teater hanya karena senang. Keterbatasan mereka yang juga membatasi produksi, saya balikkan menjadi kekuatan, sejak dari pembuatan naskah. Naskah saya buat sesuai dengan potensi mereka.

Saya sangat terganggu dengan tidak adanya desiplin dan komitmen dalam berlatih. Para pemain jarang datang lengkap dan selalu merepotkan jadwal. Akhirnya saya menulis naskah yang membuat pemain sekali masuk ke dalam adegan, untuk seterusnya tidak bisa keluar sampai lakon berakhir. Ini yang membuat saya sampai ke naskah-naskah yang mengetengahkan kelompok manusia sebagai sebuah karakter. Struktur itulah yang menjadi formula semua naskah yang saya buat sampai 1989.

Pesan moral yang saya pegang dalam setiap pembuatan naskah adalah usaha untuk melakukan “teror mental”. Upaya untuk mengganggu, membangunkan, mengingat, membimbangkan, menggoda, menteror batin penonton. Tujuannya agar penonton terbangun, tergugah dan berpikir lagi setelan mendusin dari tidurnya.

Saya lihat akibat berbagai macam bentuk penjajahan (politik, ekonomi, sosial, budaya), banyak orang setelah membuat keputusan tidak mau berpikir lagi. Banyak orang karena dibius oleh sesuatu yang dahysat ( idiologi, paham, agama, kecendrungan, pendapat, ilmu) mengunci dirinya dalam satu kesimpulan yang membuat ia seperti mati dalam kehidupan. Banyak manusia menjadi mummi. Saya ingin mengajak ia bimbang dan memikirkan lagi posisinya, tetapi tanpa berusaha untuk mempengaruhinya. Buat saya kebimbangan adalah suci.

Karena pesan moral itulah saya mengawali setiap naskah dengan langsung menggebrak. Dan kemudian mengakhirinya dengan mengambang. Tak ada kesimpulan. Kesimpulkan yang terbuka. Pertanyan berakhir sebagai pertanyaan. Pertanyaan, jawabanya pertanyaan yang lain. Lakon adalah sebuah PR kepada setiap penonton yang mengajak mereka berdialog dan kemudian mengambil keputusan-keputusan untuk hidupnya sendiri.

Saya tidak memberikan banyak petunjuk di dalam naskah (yang saya lakukan juga dalam membuat skrip film) karena berharap mereka yang membaca/mempergunakan naskah itu akan melakukan penafsiran. Saya mengambil posisi, saya sendiri belum tentu lebih tahu tentang naskah itu dari penggunanya. Karenanya naskah-naskah itu mengapung, bersifat multi interpretasi. Dapat dimaknakan ke mana saja, tergantung pembaca, pelaku atau penontonnya.

Maksud saya untuk memberikan ruang kepada sutradara. Tetapi hasilnya agak menyedihkan, karena kebanyakan penggunanya kemudian mempergunakan seenak perutnya. Di samping itu naskah itu bagi yang belum pernah menyaksikan pementasannya menjadi sulit dimengerti.

Dalam membuat naskah teater saya merasa tak pernah mendapat hambatan. Sensor dan batasan dari berbagai aspek di sekitar saya adalah tantangan, adalah kesempatan yang justru menolong saya mampu melompat. Pengalaman dalam mengelak, menyiasati hambatan-hambatan itu, membuat saya percaya bahwa kreativitas membuat tak ada yang tak mungkin di atas pentas. Dengan cara memandang seperti itu, wilayah pentas adalah wilayah tak terbatas. Kita bebas mengekspresikan apa saja.

Selamat Berkarya.
Putu Widjaja

Riak riak dalam keluarga

Jaman masih kuliah dulu, dua orang abang saya yang bekerja di Jakarta tinggal serumah. Yang satu abang paling besar, sebut saja Abang besar. Yang satu abang pangais bungsu,(sebelum bungsu) sebut saja abang kecil.

Namanya bujangan, kerja di Jakarta pula yang jam kerjanya kalau menurut saya yang orang Bandung itu agak-agak kurang manusiawi, rumah mereka tuh jadinya agak-agak terbengkalai. Apalagi urusan cucian. Udah deh… Muantabh! Waktu mencuci kan hanya weekend, jelas bentrok dengan waktu istirahat dan kebutuhan rileks yang sangat tinggi. Modal mesin cuci doing mah ngga bakalan menyelesaikan masalah. Abis nyuci, dijemur. Kalau ujan? Ditongkrongin deh itu cucian. Yang paling menyebalkan lagi??? Tentunya MENYETRIKA. Hih, kebayangkan, dua bujangan yang pinginnya weekend itu tidur doang, harus menyetrika baju-baju yang… Yah tau sendiri lah orang kantoran. Bajunya didominasi sama kemeja dan celana kantor. Susah kan nyetrika yang begituan???

Kalo ngeloundry kan jadinya berlebihan, bener ngga? Ngga seimbang aja harga baju, jumlah baju sama biaya londri. Pake pembantu? Rumah aja jarang ditempatin, selain nyuci, itu pembantu ngga bakalan ada kerjaan lain. Ditambah lagi, waktu itu udah nyari-nyari pembantu, ngga dapet juga. Jaman sekarang sih enak, ada cuci kiloan. Sampe ada fasilitas antar jemput segala lagi. Nah jaman itu? Wah, kasian banget lah kedua abangku itu…

Tapi kan, tetep aja mereka harus menyelesaikan persoalan kecil ini… Akhirnya, diputuskanlah mereka menyewa seorang tukang cuci professional, didatangkan langsung dari kota Bandung, dengan banyak fasilitas yang juga luar biasa, seperti uang transport, akomodasi, biaya makan makanan mewah, membeli novel seminggu satu kali, dan antar jemput terminal. Tukang cuci itu adalah… -aku-

Begitulah, udah sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya setiap weekend aku pergi ke Jakarta untuk jadi tukang cuci setrika. Ah, walaupun gajinya tinggi, tetap saja kurang enak di dengar. Rasanya gimanaaaaa gitu kalau ada orang yang nanya, “Side job kamu apa?” Orang kan biasanya, “Penyiar radio.” “Asisten dosen.” “kerja di EO”. Lah aku??? “Buruh cuci setrika..”

Suatu hari, mamahnya temenku di rawat di RS Harapan kita. Mumpung lagi di Jakarta, aku pergi menengok dengan menggunakan bis. Karena keasyikan di rumah sakit, aku ngga sadar kalau waktu udah menunjukkan jam 6 sore. Gila, bisa kena marah nih… Segera aku pamit pulang dan kembali naik bis pulang ke rumah. Emangnya di Bandung yaaa, ke mana-mana paling lama setengah jam aja. Ini Jakarta Bung! Ibukota! Kota Metropolitan! Udah jam 8 malem, ngga nyampe aja dong gue ke rumah. Muaaacceeettt!!! Huh! Bisa kena masalah nih.

Setelah sepanjang jalan berdoa semoga abang Besar belum pulang, aku pun tiba di rumah, hampir jam 10 malam. Gila yah Jakarta! Dari luar saja aku udah drop, iyalah, mobil abang besar udah nongkrong di depan rumah. Fieewwhhhh! Matilah aku!

Begitu masuk ke rumah, sebelum diinterogasi, aku langsung masuk kamar. Biasa, sebelum dimarahin, kan mending marah duluan. Teori lama anak bungsu, hehehehe! Sometimes it works! (Sometimes yaaaaa.. sering gagal jug ague..)

Sebelum tidur, saya sempat mendengar abang besar mengeluh pada kakak perempuanku melalui telepon. Otakku jadi panas. Huh, ngapain dicerita-ceritain sama kakakku itu. Dia lagi, tokoh paling gampang kuatir sekeluarga! Hiaahhhh! Besok paginya, aku melancarkan serangan ngambek. Aneh ngga sih, yang salah siapa, yang ngambek siapa… Hihihi! HIDUP BUNGSU!!!
Sesuai dengan kontrak bahwa deskjob aku di rumah itu adalah sebagai tukang cuci setrika professional, which is kemarinnya aku udah nyuci, pagi itu aku mulai menyetrika hasil cucian kemarin. Catet, aku melakukannya dengan cemberut!

Keberatan dengan sikap ‘sok oke’ yang aku pamerkan, abang besar menegurku. Sementara abang kecil masih askyik tidur di sofa tak jauh dari tempat aku dan abang besar.
Aku diam saja, tak merespon teguran abang besar. Mukaku makin manyun. Akhirnya Abang besar marah. Dengan panjang lebar dia menjelaskan apa kesalahan aku semalam, betapa dia kuatir sama aku, karena aku kan sebetulnya ngga tau jalan. Belum lagi udah malem banget, jaman itu belum punya HP pula, ngga tau nyari ke mana. Dia juga mengingatkan attitude-ku yang super aneh, yaitu malah cemberut padahal yang salah kan aku sendiri.
Aku melawan abang besar, sampai dia jadi makin emosi. Akhirnya dia bilang, “Nggeus! Teu kudu di setrika! Urang ge bisa nyetrika!” (red: Udah! Ngga usah disetrika! Saya juga bisa nyetrika kok!)

Aku diam saja, tetap menyetrika.

Abang besar meninggikan nada bicara. “Ereun, Da! Teu kudu disetrika! Teu kudu dibantuan lah! Bisa urang ge!” (Berenti, Da! Ngga usah disetrika! Ngga usah bantuinlah! Saya juga bisa kok!”)
Aku tetap diam, tetap menyetrika. Suasana jadi tegang. Aku tahu abang besar akan insist dengan keputusannya. Tapi dia juga tahu, aku akan tetap memasang wajah perlawanan.
Tiba-tiba, abang kecil yang dari tadi seperti tidur nyenyak itu bangun. Kami berdua menengok padanya. Kirain dia mau ikut berpartisipasi, entah membela aku, atau membela abang besar. Ternyata dia hanya berdiri, trus masuk kamar. Ih, kayaknya dia merasa tidurnya terganggu, terus masuk kamar. Dasar bungsu gagal! Nanggung jadinya!

Abang besar meneruskan petuah-petuahnya lengkap dengan PAKSAAN supaya aku berhenti menyetrika. Kemudian pintu kamar abang kecil terbuka, kupikir dia mau protes karena mungkin suara kami terdengar sampai ke kamar dan mengganggu tidurnya.

Ternyata eh ternyataaaaa….

Abang tercintaku itu keluar kamar dengan membawa sekeranjanng cucian bersih milik dia, lalu ditaruhnya keranjang itu di sebelahku dan berkata, “Da! Nu urang mah di setrika nya?” (red: Da, kalau punya saya di setrikain yahh..)

Dia pun ngeloyor masuk ke kamar lagi. Aku dan abang besar melongo! Heih, dia ngga lagi ngelindur kan??? Ya ampun, dia yahhh???? Jadi dari tadi otak dia tuh kuatir kalau aku berhenti nyetrika, maka baju-baju dia pun ngga dapet jatah. Hahahahahaha! Dasar ogi! Akhirnya kami berdua (abang besar dan aku) tertawa dan berhenti bertengkar. Yah, liat saja sisi baiknya. Abang kecilku mendamaikan aku dengan abang besarku.

Sorenya, mereka berdua mengantarkan aku ke terminal bis, untuk kembali ke bandung jadi mahasiswa. Dulu belum musim travel-travel-an, hehehe…

Keluarga tetap keluarga yaaa.. Mau gimana juga berantemnya, kami tetap saling menyayangi kok…

Buat abang besar, pisssss!!! Buat abang kecil, kamana wae atuuuuhhhh???

By Jainar Berliana Butarbutar/Jimat

WEK WEK

Karya : D.Djajakusumah


ADEGAN I

Petruk
Sejauh mata memandang, sawah luas terbentang,
tapi tidak sebidang tanah pun milikku.
Padi aku yang tanam, juga aku yang ketam.
Tapi tidak segenggam milikku.
Bebek tiga puluh ekor, semuanya tukang bertelor.
Tapi tidak juga sebutir adalah milikku.
Badan hanya sebatang, hampir-hampir telanjang.
Hanya itu saja milikku.

ADEGAN II

Bagong
Aku orang berada,
apa-apa ada. Juga buah dada, itulah beta.
Sawah berhektar-hektar,
pohon berakar-akar,
rumah berkamar-kamar,
itulah nyatanya.
Kambing berekor-ekor,
bebek bertelor-telor,
celana berkolor-kolor,
film berteknik kolor.
Perut buncit ada,
mata melotot ada,
pelayan ada,
pokoknya serba ada.


ADEGAN III

Gareng
Badannya langsing, matanya juling, otaknya bening. That’s me!
Tipu menipu, adu mengadu, ijazah palsu, that’s me!
Gugat menggugat, sikat menyikat, lidah bersilat, that’s me!
Profesiku pokrol bambu, siapa yang tidak tahu, that’s me!


ADEGAN IV

Semar
Saya jadi lurah sejaak awal sejarah,
sudah lama kepingin berhenti
tapi tak adaa yang mau mengganti.
Sudah bosan, jemu, capek, lelah.
Otot kendor, mata kabur,
mau mundur dengan teratur, mau ngaso di atas kasur.
Saya kembung bukan karena busung,
mata berair bukan karena banjir,
tapi karena menjadi tong sampah.
Serobotan tanah, pak lurah.
Curi air sawah, pak lurah.
Beras susah, pak lurah.
Semua masalah, pak lurah,
tapi kalau rejeki melimpah,
pak lurah…tak usah…payah.


ADEGAN V

Bagong
Jaman ini jaman edan,
tidak ikut edan tidak kebagian.
Di terminal calo berkuasa,
dia tentukan penumpang naik apa.
Di dunia film broker merajalela,
dia tentukan sutradara bikin apa.
Di sini, itu si Petruk sialan,
datang merangkak meminta pekerjaan.
Aku suruh ngangon bebek tiga puluh ekor,
tiap minggu harus antar lima puluh ekor.
Malah dia tentukan berapa harus setor.
Sungguh-sungguh kurang telor.
Sekali aku datang mengontrol,
bebeknya hilang dua ekor.
Waktu ditanya, dia menjawab “dimakan burung kondor”
Di sini tak ada burung kondor. Dia yang kondor.
Dia datang melolong minta tolong,
sudah ditolong, ee…dia nyolong.
Orang seperti ini harus dipukuli,
sayangnya aku tak berani.
Lagipula aku tidak mau mengotori tanganku,
dengan menyentuh tubuhnya yang kotor dan bau.
Aku tidak mau main hakim sendiri,
apa gunanya pak lurah digaji.


ADEGAN VI

Petruk
Orang sudah melarat ditimpa cialat,
telor sudah dimakan masih juga digugat.
Padahal yang bertelor tidak peduli,
apa mau dimakan atau dicuri.
Pokoknya aku tiap minggu sudah setor,
sekitar lima puluh telor.
Waktu menyebrang jalan,
datang motor, bebek kabur,
satu ketubruk dan mati konyol.
Sekarang aku harus menghadap pak lurah
untuk mempertanggung jawabkan
apa yang sudah aku lakukan.
Siapa menolongku,
siapa membantuku?

Gareng
Apa masalahmu, menangis tersedu-sedu
Apa persoalan,merengek tersedan-sedan
Jangan takut, aku bukan polisi
Bukan maut, juga bukan polusi.

Petruk
Begitu mulutnya dibuka, mendadak hilanglah duka
Permisi, mohon bertanya, kok mau menyapa saya?

Gareng
aku sedih melihat orang susah.
Aku murka melihat orang marah.
Aku membantu orang kejepit,
kena urusan berbelit-belit.

Petruk
Petruk Ikan dicita, ulampun tiba.
Janda dicinta sebab kaya raya.
Bapak mau menolong saya yang lagi bingung kena perkara?

Gareng
Aku diturunkan ke bumi ini dengan suatu misi.
Membantu orang yang kena perkara,
baik yang perdata maupun pidana
Pilih mana, bagi saya sama saja.

Petruk
Anu pak, ini urusan telor dan bebek.

Gareng
Ah, telor dan bebek. Bukan telor dan ayam?
Di sini telor, di sana telor, sama-sama telor
Di sini bebek, di sana ayam, bagiku sama saja.

Petruk
Ya, tapi saya melarat pak.

Gareng
Ya, saya juga melarat,
karenanya harus bekerjasama yang erat.
Segala sesuatu dikerjakan dengan mufakat.
Misalnya saja tentang honorku,
biar bagaimanapun aku ini pokrol bambu
Kamu harus hargai profesiku.

Petruk
Bapak harus sadari profesi saya,
yang tidak menghasilkan apa-apa.
Harta karun tidak ada,
yang ada cemeti dan celana.
Ambil saja cemeti, biar nanti saya cari lagi.
Jangan ambil celana, nanti saya celaka
Menambah lagi perkara, perkara pusaka dewata.

Gareng
Ini bukan perkara cemeti atau celana
Tapi urusan telor dan bebek.
Jelas urusan telor dan bebek
Telor dan bebek,
tor-tor,
wek-wek.

Petruk
Tor-tor,
wek-wek?
Maksudnya ha?

Gareng
Ssst! Jangan keras-keras.

MEREKA SALING BERBISIK, KEMUDIAN TERTAWA TERBAHAK-BAHAK, RAHASIA DAN .... NAKAL


ADEGAN VII

Semar
Sudah di pikir masak-masak?

Bagong
Sudah. Malah hampir busuk.

Semar
Kalau di pikir-pikir berapalah rugimu?

Bagong
Ini bagi saya memang bukanlah persoalan untung rugi. Ini soal kepercayaan saya yang di lukai. Muka saya di ludahi. Sudah di tolong masih mencuri. Saya kurang baik apa? Masih saja orang bilang saya pelit, medit, bakhil.

Semar
Penghisap, pemeras, penggencet, penyedot, pengepres.

Bagong
Ya, semua yang tidak beres.

Semar
Kalau dia mengakui, apa tindakan mu?

Bagong
Dia harus bayar kerugianku.

Semar
Kalau dia tidak dapat?

Bagong
Apa boleh buat, pecat.

Semar
Lantas apa nasibnya?

Bagong
Ini urusannya, urusan pak lurah.

Semar
Kalau ia tidak mengaku bersalah?

Bagong
Pak lurah atur supaya ia menyerah. Nanti saya atur agar padi pak lurah bertambah.

Semar
Saya sudah menjadi lurah sejak awal sejarah. Jangan omongamu membuat saya marah.

Bagong
Maaf pak lurah.
Maksud saya sama sekali tidak mempengaruhi.
Hanya si Entong anak bapak kemarin kepingin motor.

Semar
Kalau dia kepingian, tentu dia ngomong sama saya.

Bagong
Dia kemarin pesan motor apa saja.

Semar
Mau tutup mulut tidak? Mau aku depak?

Bagong
Maksud saya….

DATANG PETRUK DAN GARENG

Gareng
Maaf pak lurah.
Selamat pagi, selamat ketemu lagi.
Apa kabar pak cukong? Masih suka membagong.

Bagong
Pokrol busuk, awas. Jangan sembarangan ngomong.

Semar
Perkara apa yang kita hadapi, hina menghina atau curi mencuri?

Bagong
Maaf pak lurah. Dia yang mulai.

Semar
Gareng, apa kau jadi pembela?

Gareng
Betul. Pembela dan kuasa penuh.

Bagong
Maksudnya, kalau kalah perkara saudara masuk penjara?

Gareng
Saya kira, yang akan kalah itu saudara.

Semar
Baik, kita mulai. Orang mau bicara hanya dengan seijin saya.

Bagong
Setuju........!

Gareng
Kalau maunya pak lurah begitu.

Petruk
Bb-bb

Semar
Bagaimana kau petruk?

Bagong
Penggugat, terdakwa, tertuduh, tersangka.

Semar
Kalau mau bicara harus seijin saya!

Bagong
Maaf, pak lurah. Bagaimana petruk?

Petruk
(diam)

Semar
Jawab petruk.

Gareng
Maaf pak lurah.

Semar
Pembela?

Gareng
Boleh saya bicara?

Semar
Silahkan.

Gareng
Sebelum saya minta maaf bagi klien dan pasien saya.
Klien, karena ia minta saya sebagai pembelanya dan kuasa usahanya.
Pasien, karena ia minta saya menjadi dokternya.
Keterangan dan penjelasannya; sewaktu ia datang kepada saya yaitu pada hari kamis legi yang lalu, tanggal 32 september 1999, getaran pada jam 10. 30 menit, 6 detik, 7 detik, 8 detik, 9 detik ricther. Udara 240 C, curah hujan 25 cm, naga di selatan, singa di utara, bintang venus berada di….

Bagong
Pak lurah saya protes.

Semar
Kenapa?

Bagong
Urusan apa itu si Venus? Sebentar lagi si Wati, si Inah, si anu…

Semar
Protes di terima,
pembela….fakta yang langsung berhubungan dengan fenomena
dan sebaiknya yang berkaitan dengan perkara.

Gareng
Walau hak saya di kurangi…. tak apalah.
Saudara petruk ini datang pada saya, di kantor saya di kaki enam depan pasar, sebelah kiri toko sepeda, seblah kanan warung tegal, bersebrangan dengan pompa minyak goreng.
Menceritakan kepada saya musibah yang menimpa dirinya yang di sebabkan oleh telor, bebek dan bapak bagong.
Dengan suara dingin bergetar kedinginan.
Pak lurah ia datang berlari langsung sawah yang kehujanan lebat dingin sekali.
Mengamankan bebek-bebek dan telor-telor yang menjadi tanggungannya, mendadak banjir dari kali, kilat menyambar dari langit.
Dua bebek di bawa banjir….

Bagong
Astaga, telornya?

Gareng
Sepuluh butir disambar petir, hancur berantakan.

Bagong
Telor-telorku….

Semar
Benar ini semua terjadi?

Petruk
Ia…wek…wek…wek

Semar
Jawab yang benar.

Petruk
Wek…wek…wek…wek.

Semar
Jangan main-main.

Gareng
Wek…wek. Maaf pak lurah. Selesai dia menceritakan pengalamannya yang mengerikan itu, ia jatuh pingsan. Badannya mengigil, keringatnya mengalir, mukanya pucat, ia mengeluh. Wek…wek…waktu sadar, terlanjur suara yang bisa ia keluarkan hanya wek, selain wek tak ada wok…wok. Seperti pak lurah dengar tadi. Ia sedih sekali, saya ikut sedih dan berjanji padanya akan menyembuhkannya. Jadi kalau ia menjawab dengan wek…wek, maafkanlah ia.

Semar
Bagaimana Petruk?

Petruk
Wekwek….

Bagong
Pak lurah, ini saya kira satu permainan yang licik, akal-akalan si pokrol bambu, pokrol tipu, pokrol….

Gareng
Pak lurah, ini saya adukan cukong Bagong, karena telah menghina saya di depan umum. Pak lurah mendengar sendiri dari moncong Bagong….

Bagong
Pak lurah, saya adukan pokrol itu menghina saya menyebut mulut saya dengan moncong….

Semar
Saya catat, saya sudah catat.
Gareng menghina Bagong, Bagong menghina Gareng.
Skor, satu lawan satu.
Draw,
remis.
Sama kuat,
selesai.
Saya peringatkan,
jangan ada yang nyeleweng lagi.
Kita lagi membicarakan perkara Petruk dengan bebek dan telornya Bagong.

Gareng
Saya tidak punya urusan dengan telornya bagong.

Bagong
Telor saya jangan dibawa-bawa.

Gareng
Memangnya kau taruh di rumah?

Semar Lama-lama hilang kesabaran saya.
Tekanan darah saya naik. Kita lagi membicarakan soal wek-wek.

Bagong
Pak lurah, ini bukan perkara wekwek.

Gareng
Tak ada kaitannya dengan wek-wek?
Mengapa Petruk sekarang hanya bisa bilang wek-wek? kenapa?
Karena ia ingat ada bebek yang dibawa air bah, karena ia cinta sama bebek asuhannya, karena ia merasa sepenuhnya bertanggung jawab atas keselamatan bebek yang berbunyi wek-wek itu.
Karena ia saban hari saban malam mendengar hanya suara wek-wek, hingga suara wek-wek menjadi obsesi, otaknya penuh suara Wek-wek, syarafnya diganggu oleh wek-wek, pita suaranya tersetem pada nada wek-wek.
Dia hanya akan bisa ber wek-wek sampai akhir hayatnya.
Bahkan kuburnya nanti akan berbunyi wek-wek.
Dan doa untuk arwahnya harus berbunyi wek-wek.
Dan kita sekarang harus membicarakan ini dengan bahasa wek-wek.

Bagong
Saya protes, tidak bisa.
Saya belum belajar bahasa wek-wek.
Kenapa harus berwek-wek, wok-wok. Wek-wek apa wok-wok.

Semar
Itu terlalu ekstrem,
kalau kita harus menyelesaikan perkara ini dengan bahasa wek-wek,
maka terpaksa perkara ini harus ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan.
Sampai kita semua telah mahir ber wek-wek.

Petruk
Wek…wek..wek.

Semar
Apa maunya?

Gareng
Kasihanilah saya. Saya tidak bersalah.

Bagong
Bohong. Dia telah mencuri tiga belas telur dan tiga ekor bebek.

Petruk
Wek..wekwek….

Gareng
Tidak salah

Bagong
Salah

Petruk
Wek-wek

Gareng
Tidak

Bagong
Salah

Semar
Wekwek…

Gareng
Ya wekwek…

Bagong
Apa wek-wek?

Petruk
Wek…wek…wek…

Semar Wek…wek.

Bagong
Wek…wek.

Gareng
Wek…wek.

Semar
Diam! wekwek. Sudah jadi bebek semuanya.

Petruk
Wek…wek.

Gareng
Kalau dulu ia tidak dipaksa harus hidup berhari-hari dengan bebek.
Dia jadi begitu
karena Bagong.

Bagong
Dia datang kepada saya minta pekerjaan.
Yang lowong hanya ngangon bebek.
Dia terima pekerjaan itu, saya tidak paksa.

Semar
Apa keadaan yang harus dipersalahkan?
Bagong, berapa ekor yang dia harus jaga?
Dan berapa telor harus dia setor?

Bagong
Bebek tiga puluh ekor.

Gareng
Kelaminnya

Bagong
Kelamin? Jangan hina saya ya, jelas saya laki-laki.

Gareng
Saya tidak tanya kelaminmu. Kelamin bebek?

Bagong
Tiga puluh ekor betina semua.

Semar
Berapa telor yang harus dia setor?

Bagong
Lima puluh butir seminggu, bebek menelor tiga hari sekali, seminggu dia menelor dua kali.
Tiga puluh bebek bertelor selama seminggu enam puluh, saya minta setoran lima puluh, yang sepuluh buat upah si Petruk.
Kan cukup. Sepuluh kali seribu kan sepuluh ribu seminggu?.

Semar
Sepuluh ribu seminggu, bisa hidupkah dengan uang itu?
Bisakah dia penuhi setoran itu?

Bagong
Tidak pernah.
Mula-mula Cuma empat puluh, makin lama makin berkurang.

Petruk
Wekwek…

Semar
Apa maksudnya?

Gareng
Tiga puluh ekor bebek, betina semua. Tidak ada jantannya.
Bagaimana bisa bertelor.
Pak lurah,Ini jelas contoh pemaksaan kemauan dan penghisapan
di luar batas kemanusiaan dan kebinatangan,

Bagong
Nyatanya, mula-mula bebek itu bertelor.

Gareng
Itu karena kau beli dan serahkan.
Mereka baru bergaul dengan bebek jantan. Kemudian….

Bagong
Nyatanya dia masih bertelor.

Gareng
itu jasanya si Petruk.

Semar
Hei, kau boleh menipu kami, tapi tipuan ini tidak berlaku.
Masa Petruk ber...anu..anu.. dengan bebek?

Bagong
Biarkan saja, asal bebek yang bertelor.

Gareng
Kenapa kau tidak gauli saja sendiri bebek-bebek itu?
Pak lurah, maksud saya tidak seperti yang pak lurah bayangkan.
Karena Petruk diam-diam pinjam bebek jantan dari tukang angon lainnya.
Dan membiarkan si jantan itu menggauli bebek betina
maka masih ada telor yang bisa dipungut.
Biar nafsu kebinatangan pejantan itu luar biasa,
tetapi ia tidak menggauli seluruh bebek betina itu.

Semar
Kalau begitu si Petruk berjasa besar.
Berjasa terhadap bebek betina itu dan berjasa terhadapmu Bagong.

Petruk
Wekwekwek…

Semar
Apa katanya?

Gareng
Dasar orang tidak tahu terima kasih.

Petruk
Wekwekwek

Gareng
Tidak tahu menghargai jasa orang.

Semar
bagaimana Bagong?

Bagong
Ya… bebek yang dua dimana?

Gareng
kan dibawa banjir.

Bagong
Bukan itu, sebelumnya? Pasti dijual.

Gareng
Menurut Petruk, yang satu disambar alap-alap.
Yang lain dimakan anjing.

Bagong
Bohong. Percuma punya bebek.
Hilang melulu, beri telor tidak.
Percuma punya tukang angon.

Petruk
Wekwek…

Bagong
Apa lagi?

Gareng
Tiap kali pinjam penjantan, dia harus bayar dua telor.

Bagong
Pemeras

Gareng
Siapa?

Bagong
Itu yang pinjamkan pejantan.

Gareng
kau bisa bilang orang itu pemeras!? Lantas kau maunya pinjam gratis gitu?

Semar
Nah, perkaranya sudah jelas, Bagong nampaknya kau yang kalah.
Betul Petruk kurang dapat menepati janjinya tetapi itu karena keadaan yang kau ciptakan sendiri.
Kau tidak bisa memecat ia,
dan kalau kau mau bebekmu bertelor,
belilah barang tiga pejantan.
Dan kau mesti bayar dukun yang mengobati si Petruk.

Bagong
Saya tidak mau mengatakan pak lurah berat sebelah.
Tapi…ongkos dukunnya berapa?

Gareng
Seratus ribu rupiah

BAGONG MEMBAYAR DENGAN DUA LEMBAR LIMA PULUH RIBUAN

Bagong
Rugi-rugi…
(pergi)

Semar
Gareng, cari dukun yang baik, biar Petruk lekas sembuh.

Gareng
Tentu saya akan usahakan.

Petruk
Wekwek…

Semar
Ya, wekwek…



ADEGAN VIII

Gareng
(tertawa)
hahahaha…..

Petruk
(tertawa)
wekwekwekwek….

Gareng
Nah kau selembar, aku selembar

Petruk
Wekwek…

Gareng
Nah, sekarang mana dua bebek yang dibawa banjir?

Petruk
Wekwekwekwek….

Gareng
Ayo, jangan main-main lagi. Sandiwaranya sudah selesai

Petruk
(menunjukan tenggorokannya)
wekwek….

Gareng
Janjimu bagaimana? Mana imbalanku?

Petruk
(menunjuk uang di tangan Gareng)
wekwek…
(pergi)

Gareng
Wah si Petruk bodoh tapi lihay, lihay tapi bodoh.
Aku pokrol bambu kena tipu.


ADEGAN IX

Semar
Saya jadi lurah sejak awal sejarah…

Petruk
pak lurah, aku mengaku salah.

Semar
Saya jadi lurah sejak awal sejarah.
Mana ada Bebek yang dibawa banjir dan telor yang disambar petir.

Petruk
(tertunduk)
Maaf,pak Lurah.

Semar
Truk dimana bebek dan telor-telor itu?

Petruk
(Menangis)
Saya lapaar.....



TAMAT

KUCING HITAM

Karya : Edgar Allan Poe

DALAM SEBUAH SEL, DUDUK SEORANG SETENGAH BAYA. IA NAMPAK MURUNG. WAJAHNYA MISTERIUS, GARIS-GARIS WAJAHNYA DIPERTAJAM OLEH PENDERITAAN BATIN YANG BERAT. SUASANA SANGAT SEPI. TIBA-TIBA IA BANGKIT MENGAMATI SEKITAR, LALU DUDUK LAGI.


Untuk cerita amat ajaib ini, yang terjadi dalam rumahku dan hendak kami paparkan, sama sekali aku tidak mengharap bahwa orang-orang akan percaya. Gila rasanya mengharap begitu, dimana aku sendiri tidak percaya dengan indraku sendiri. Aku tidak sama sekali aku tidak bermimpi. Tapi besok, aku akan mati, maka sekarang harus kubuang beban yang menghimpit jiwaku ini.

Sebetulnya tak ada keinginanku untuk memaparkan pada dunia serangkaian peristiwa dirumah secara sederhana dan pendek, tanpa dibumbui.Oleh akibat-akibatnya, peristiwa itu telah mengejutkan hati, menganiaya bahwa memusnahkan diriku. Namun aku tidak bermaksud menafsirkannya. Bagiku tak ada hasilnya kecuali kengerian. Bagi orang lain mungkin bukan mengerikan, tapi aneh. Nanti mungkin akan ada orang pandai yang akan berhasil menafsirkan keanehan ini sampai terasa biasa-biasa saja, seorang pemikir yang lebih tenang, berakal, dan jauh kurang bingung daripada aku dalam menghadapi yang kututurkan tanpa senang hati ini. Barangkali dia tak akan melihat sesuatu pun selain rentetan sebab akibat yang sudah fitri.

Sedari kecil aku terkenal suka penurut dan berperikemanusiaan. Kelembutan hatiku ini amat kentara, hingga sering diolok-olok oleh teman-temanku. Terutama aku sangat menggemari bintang. Orang tuaku mengijinkanku memelihara pelbagai binatang di rumah, bersama merekalah ku habiskan sebagian waktuku. Aku tak pernah lebih bahagia kalau tidak memberi makan serta mengelus mereka. Tabiat ini tumbuh bersama umurku.Maka sewaktu dewasa aku menyadari salah satu sumber terbesar kebahagiaanku. Pada siapa pernah menyayangi anjing yang setia lagi pintar, tak perlu aku terangkan betapa dalam dan mesra kepuasan yang kudapat dengan begitu. Dalam cinta binatang yang rela dan suka berkorban itu, ada sesuatu yang langsung merasuk ke hati seseorang yang kerapkali menguji persahabatan kecil atau kesetiaan, yang hanya dihasilkan oleh manusia.

Aku kawin selagi muda dan beruntung bahwa istriku punya kesamaan kesenangan. Sekali paham akan kesenanganku, ia pergunakan semua kesempatan untuk memberi piaraan yang indah-indah. Kami mempunyai burung, ikan mas, anjing yang manis, kelinci, monyet kecil dan seekor kucing. Yang terahir ini adalah hewan yang sangat besar dan lagi cantik, hitam sama sekali. Sedang kepintarannya mengagumkan. Mengenai kecerdasannya ini, istriku tak luput dari sedikit takhayul, sering mengingatkan pada mitos turun temurun yang yang menganggap kucing hitam sebagai juru tenung yang menyamar. Dia bukannya sungguh-sungguh percaya-aku sebut ini hanya pada saat ini aku ingat ihwalnya.

Pluto, demikian nama kucing itu-adalah teman bermainku yang paling aku sayang, hanya aku yang memberinya makan. Diikutinya kemana aku pergi. Di rumah, di halaman, bahkan dengan susah payah kucegah ia mengikutiku di jalanan. Dan itu terjadi selama bertahun-tahun. Selama ini kuakui dengan malu, perilakuku mengalami perubahan mendasar kearah buruk, disebabkan kegemaranku meminum-minuman keras.

Hari demi hari aku bertambah murung, lekas marah dan makin tidak memperhatikan perasaan orang lain. Tak segan-segan lagi aku memakai kata-kata pedas pada istriku. Akhirnya aku memukulnya. Dengan sendirinya piaraanku pun ikut menderita oleh perilakuku ini. Aku tak hanya melalaikan mereka. Cuma Plutolah yang kurasa tak pantas di sakiti. Tapi binatang lain tak segan-segan aku menganiaya mereka. Bahkan si anjing, apabila mereka secara kebetulan atau karena patuh tiba di depan kakiku.Penyakitku itu kian lama kian parah, alangkah jahatnya alcohol hingga pada akhirnya…akhirnya Pluto turut menjadi korban kejahatanku.

Pada suatu malam tatkala aku pulang dengan sangat mabuk dari salah satu warung minuman dalam kota yang sering aku kunjungi. Kulihkucing itu menghindari aku, ku tangkap dia. Dalam ketakutannya menghadapi kegusaranku ia membuat luka kecil dengan giginya pada tanganku. Aku segera dikuasai setan. Aku lupa diri. Aku seperti kehilangan diriku yang asli, maka kejahatan yang amat keji, tersebab minuman keras, menggetarkan tiap ototku. Dari kantong kuambil pisau, kupegang binatang sial itu pada kerongkongannya. Dengan perasaan dingin kucongkel matanya sebelah.

Saat keesokan harinya aku siuman dan kesadaranku kembali, aku merasa setengah ngeri dan menyesal atas kejahatanku. Tapi perasaan ini hanya sementara, jiwaku tak bergerak. Sekali lagi aku mabuk, hingga lenyaplah segala penyesalan akan kejahatanku. Sementara itu si kucing berangsur sembuh. Sungguhpun lobang mata yang kopong itu seram nampaknya, namun ia sendiri agaknya tak lagi merasa sakit. Ia berkeliaran seperti biasanya dalam rumah, tapi apabila dilihatnya aku, dengan sendirinya ia lari ketakutan. Cara hidupku yang dulu belumlah mati sama sekali dalam diriku, hingga kebencian kucing ini masih membuat sedih, tapi perasaan inipun lekas tersisih oleh kekesalan. Dansebagai puncak malapetaka datang sifat ke binatanganku yang mempercepat keruntuhahanku.

Peragaman jiwa ini tak disebut oleh filsafat. Namun aku yakin benar bahwa kebinatangan ini salah satu getar jiwa manusia yang sangat kuat, salahatu kecendrungan atau rasa asli yang tak dapat disimpulkan,yang membentuk watak manusia. Siapa mengira bahwa seseorang bisa berates-ratus kali berbuat jahat atau bodoh,dengan tiada alasan atau kesadaran bahwa hal itu boleh di lakukan? Bukankah kita punyan kecendrungan memperkosa hukum yang tak tertulis, juga lantaran kita tahu bahwa itu adalah hukum?sudah kubilang sudah kubilang bahwa sifat kebinatanganku ini mempercepat keruntuhanku. Hasrat jiwa yang tak terajuk untuk menyiksa diri inilah untuk memperkosa fitrahnya sendiri untuk berbuat dosa karena inginkan dosa, hasrat ini mendorongku meneruskan penganiayaan atas hewan tak bersalah itu dan akhirnya membunuhnya.

Pada pagi hari kuikatkan tambang dikuduknya, lalu kugantung ia ke ranting pohon, kugantung ia dengan mata air bercucuran, serta hati penuh penyesalan. Kugantung ia oleh karena kutahu bahwa ia berbuat kejahatan-kejahatan besar, hingga sukmaku yang abadi itu kupertaruhkan, bahwa jika hal ini tak mustahil Tuhan yang maha pengasih dan penyayang tak akan dapat mengampuni.

Pada hari terjadinya kekejaman kutadi, malam harinya aku terbangun oleh teriakan yang menyebut kebakaran. Tirai-tirai diranjangku dimakan api. Seluruh rumah menyala-nyala dengan sangat susah, istriku, aku dan bujang dapat menyelamatkan diri dari maut. Kerusakannya sempurna. Seluruh kekayaanku ludes. Sesudahnya aku jatuh pada keputusasaan. Jika kucari hubungan sebab akibat malapetaka ini dan kekejamanku, itu akan membuktikan kelemahan jiwaku. Tapi hendak kusebut serangkaian kenyatan saja, dan aku tak mau membuang suatu mata rantai yang mungkin berarti, sungguhpun tak penting.

Sehari sesudah bencana itu kukujungi puing-puing reruntuhan. Semua telah runtuh. Kecuali satu. Yang satu ini tak amat tebal; berdiri dalam bekas kamar yang kurang lebih ada di tengah-tengah rumah. Pada tembok itu kemarin bersandang ranjangku di bagian kepala. Kapur di situ masih baru, hingga tak sedikit dapat bertahan terhadap api, maka inilah sebabnya tembok itu tak runtuh. Di depannya orang berhimpun berjejalan, dan banyaklah yang dengan teliti dan semangat mengamati bagian tertentu. Kata-kata aneh dan luar biasa serta lain-lain sebagian menimbulkan rasa keingintahuanku. Aku mendekat. Pada permukaan putih itu kulihat ada pahatan seekor kucing besar. Gambar itu sangat detil dan menakjubkan . dan sekitar kuduk binatang itu ada seutas tali.

Aku heran dan ngeri tak terhingga. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Kuingat kucing itu kugantung dalam taman di sebelah rumah. Waktu kebakaran diketahui orang, taman segera penuh oleh manusia. Tentunya ada seorang yang memotong talinya lalu melemparkan mayat kucing itu ke dalam kamarku melalui jendela bermaksud membangunkanku.. karena runtuhnya tembok-tembok lain, maka korban kekejamanku itu tertahan pada tembok kapur yang masih baru. Begitulah gambaran yang kulihat tadi, dibuat oleh kapur panas oleh amoniak dari mayat kucing itu sendiri.

Meskipun uraian tentang peristiwa itu masuk akal bagiku bahkan mungkin pula memuaskan hati nuraniku, namun tak luput meninggalkan kesan mendalam dalam otakku. Tapi tak semuanya benar. Aku hanya sanggup bersedih atas kematian binatang itu. Maka warung-warung kotorlah yang kini lebih sering kukunjungi. Aku pun mencari mata piaraan yang sejenis dan serupa sebagai penggantinya.

Suatu malam, ketika aku duduk dalam pondok yang terkenal buruk, perhatianku sekonyong-konyong tertarik oleh suatu benda hitam yang tertunduk di atas salah satu tempayan jenewer atau tuak yang merupakan perabot terpenting di dalam kamar. Aku telah bermenit-menit memandang ka atas tempayan itu, maka heranlah aku bahwa benda hitam itu adalah kucing. Kuhampiri dan kujamah ia, ia binatang yang cukup besar, mirip Pluto kecuali satu hal, Pluto tak punya rambut putih sehelai pun di badannya, sedagkan di badan kucing iitu belang putih menutupi hampir seluruh bidang dadanya.Waktu kuraba, ia bangkit mendengkur keras serta menggesek-gesekan kepalanya ke tanganku. Ia agaknya amat senang. Mahluk seperti inilah yang ingin kudapatkan. Aku segera menawarnya dari penjaga warung, tapi ternyata ia bukan pemilik kucing itu. Ia belum pernah melihat kucing itu sebelumnya. Aku terus membelainya dan ketika hendak berkemas mau pulang, hewan itu ingin mengikutiku. Kubiarkan ia begitu, pun sambil jalan sesekali aku membungkuk serta membelainya lagi. Setibanya di rumah ia segera menjadi kesayangan istriku. Akan diriku, aku segera bosan pada binatang itu, dan ini tidak seperti awal harapanku.

Tapi…entah bagaimana dan mengapa….kesukaannya yang terus terang akan diriku itu malahan mengganggu dan memuakkan hati. Sedikit demi sedikit perasaanku mulai terganggu dan kekesalanku memuncak sampai kebencian yang berkobar-kobar. Aku hindari kucing itu, sejenis perasaan malu ditambah kenangan akan kekejamanku dulu mencegahku untuk menganiaya dia. Pecan pertama kujaga agar tak kupukul atau kusakiti, tapi lambat laun, sedikit demi sedikit aku dipenuhi rasa ngeri yang sangat hebat, maka diam-diam kuhindari pertemuan dengannya. Seperti dia punya penyakit menular. Dan yang menambah kebencianku adalah saat aku sadar kucing itu punya satu mata mirip Pluto. Keanehan ini membuat istriku semakin sayang padanya. Seperti sudah kusebut, dia ini punya perasaan halus, seperti sifatku yang dulu.Tapi semakin aku muak padanya, semakin ia mesra padaku. Ia mengikutiku dengan kepatuhan yang sukar dibayangkan. Dimana aku duduk, dia meringkuk di bawah kursiku atau melompat ke pangkuanku. Jika aku bangkit, ia berjalan dekat kakiku atau dia menggaetkan cakarnya panjang tajamnya ke celanaku. Pada saat itu ingin rasanya kubunuh kucing itu dengan satu pukulan, tapi niat itu tidak jadi, sebagian besar karena kenangan atas kejahatanku dulu terutama…hendaknya segera aku akui….aku sangat takut dengan binatang itu.

Takut ini bukan takut pada suatu bencana yang terbentuk, walau sulit bagiku untuk menerangkan dengan cara lain, nyaris aku merasa malu…ya, bahkan dalam sel untuk hukuman mati ini aku merasa malu…. Mengakui bahkan takut dan ngeri yang membangunkan dalam diriku oleh binatang itu kian hebat oleh kemustahilan paling gila yang dapat dipikirkan akal manusia. Lebih dari satu kali saja menghalangi minat pada belang putih yang telah kusebut dan merupakan satu-satunya perbedaan yang nyata, antara binatang ini dan kucing yang sudah kubinasakan. Belang itu, meskipun besar namun pada awalnya kabur belaka. Tapi lambat laun dengan hampir tak kelihatan maka akhirnya belang itu berubah menyerupai garis lingkar, atau begitu yang kusebut hanya dengan menggigil, dan inilah sebab utama mereka kubenci. Momok ini dan ingin kubunuh, andaikata aku berani…. Kobaran itu membayangkan sesuatu yang menakutkan, menyeramkan ialah alat gantungan. O, lambang kengerian maut yang menyedihkan dan melecutkan, lambang hasaban dan ajal.

Tak pernahlah ada manusia yang menderita siksaan seperti aku ini karena hanya seekor binatang tak berakal… yang jenisnya kubunuh dengan acuh… binatang tak berakal saja sudah sanggup menyebabkan aku menderita sampai berlimpah-limpah, aku seorang manusia yang tercipta sanggup menuruti firasat Tuhan. Tak kenal lagi aku dengan kerestuan istirahat. Siang atau malam. Siang hari momok itu tak membiarkanku sendirian sedetikpun. Malamnya aku terjaga sejam demi sejam oleh mimpi-mimpi yang menakutkan, lalu kurasakan napas momok itu melanggar tubuh yang berat, suatu beban lahiriah yang aku tak sanggup menangkisnya….bermukim abadi dalam hatiku.

Tertekan oleh siksaan-siksaan ini, maka lenyaplah sisa-sisa kecil kebaikan budi dalam diriku, Cuma pikiran jahat yang tertinggal dalam diriku, jahat lagi durhaka.Rasa tak senangku tumbuh menjadi benci terhadap segala hal dari semua umat manusia. Dan oleh letupan-letupan marahku yang tak terkendali ini, serta mencekamku hingga membabi buta. Maka sayanglah yang sering menjadi korban adalah istriku yang sabar dan tak pernah mengeluh itu.

Pada suatu hari ia menemaniku untuk mengambil sesuatu buat keperluan rumah tangga, ia masuk ke kolong di bawah rumah tua yang terpaksa kami tinggali karena kami miskin.Kucing itu mengikuti aku turun tangga sampai aku hamper tergelincir. Hal ini membuat darahku mendidih. Lupa akan ketakutan kanak-kanakku yang sampai kini mencegah tanganku. Aku angkat setangkai kapak. Aku tujukan pukulan pada binatang itu yang tentunya akan mampus seketika jika kena. Tapi pukulan itu ditahan istriku. Peleraian ini membuatku ngamuk lebih dari setan. Maka kusentakkan tanganku dari genggamannya, dan kukubur kapakku dalam kepalanya. Dia jatuh mati tanpa merintih.

Selesai pembunuhan keji ini aku segera menyembunyikan mayat dengan ketetapan hati. Aku sadar bahwa tak mungkin mayat itu kuangkat dari rumah siang atau malam tanpa diketahui tetangga. Kukaji berbagai pertimbangan, sekali itu kupikir hendak mencincangnya lantas membayarnya. Pada saat lain aku ingin menanamnya dalam lantai kolong. Kupikir itu lebih baik.
Membuangnya dalam sumur atau membungkusnya dalam peti, serta memanggulnya seperti barang dagangan dan menyuruh seseorang membawa keluar. Akhirnya, aku dapatkan jalan yang kuanggap paling jitu. Kuputuskan akan menanamnya ke dalam tembok, seperti konon dikerjakan oleh rahib-rahib pada abad pertengahan dengan korban-korban mereka. Untuk keperluan ini, tembok kolong itu sangat baik. Dinding-dindingnya tidak kokoh, pun baru dikapur dengan ramuan kasar yang tak jadi keras oleh kelembaban udara di situ. Kecuali di salah satu dinding ada bagian menjorok, dulu bekas cerobong asap tapi telah ditutup dan kini tak ada beda rupanya dengan tembok biasa. Tak kuragukan lagi, bahwa ditempat ini aku akan dengan mudah dapat mengeluarkan bata-bata, menyodokan mayat itu ke dalam, serta menempelkannya lagi hingga tak seorangpun akan melihat sesuatu yang mencurigakan. Dan perhitunganku tidak keliru. Dengan memakai linggis, dengan mudah kubongkar batu bata itu, maka setelah kusandarkan mayat itu pada tembok sebelah dalam, kutahan ia dengan sikap begitu. sedang tangan lainnya gampang kutekankan kembali susunan batu seperti semula. Setelah kubeli pasir dan kapur dengan hati-hati sekali, kubikin ramuan yang tak beda rupanya dengan yang lama. Maka dengan itu kutemboklah hasil kerjaku dengan teliti. Selesai itu aku merasa puas jitu benar. Tembok itu tak sedikitpun menampakkan pembongkarannya. Sisa-sisa di lantai kubuang sampai rapi kembali. Dengan bangga aku menengok sekeliling sambil berkata: SEKARANG AKHIRNYA SUSAH PAYAHKU TAK SIA-SIA.

Kemudian kucari kucing itu yang telah menjadi penyebab akan bencana ini. Kesudahannya aku berniat hendak membunuhnya. Andaikata dia dapat kutangkap saat itu, tak dapat kuragukan lagi nasibnya. Tapi agaknya binatang cerdik itu telah menjadi hari-hari oleh keganasanku yang hebat tempo hari.Maka ia tak menampakkan hidungnya lagi dalam keadaan begini. Mustahil dapat digambarkan perasaan nyaman lagi segar yang dibangunkan dalam dadaku oleh hadirnya mahluk terkutuk itu, maka demikianlah, meski untuk satu malam saja sejak ia tak menginjak lantai rumahku, aku tidur nyenyak. Ya, aku tidur sungguh pun dengan beban pembunuhan dalam hati nurani.

Hari kedua dan ketiga berlalu dengan tiada mengantarkan penyiksaku. Sekali ini aku merasa merdeka. Dalam takutnya, si momok telah meninggalkan rumah untuk selama-lamanya. Tak akan kulihat lagi dia. Sempurnalah bahagiaku. Dosaku yang mengerikan itu hanya sedikit menggangguku. Pihak berwajib telah mengajukan beberapa pertanyaan yang dengan mudah kujawab. Bahkan ada pula penggeledahan. Tapi tentu saja tak diketemukan apa-apa. Kunantikan hari depan dengan ketegangan yang sangat. Hari keempat sesudah pembunuhan itu, tiba-tiba munculah polisi, maka mulai lagi pemeriksaan keras di rumah. Karena aku yakin bahwa tempat simpanan tak bakal ditemukan, maka hal ini sama sekali tak mengejutkan hatiku, agen-agen itu memintaku mengantar mereka. Tak ada sudut atau lobang yang tak ditilik mereka. Akhirnya untuk ketiga atau keempat kalinya mereka turun ke kolong bawah tanah. Otot0ototku tak seutaspun tak bergerak. Jantungku berdetak tenang seperti jantung orang tidur. Kulintasi kolong dari ujung ke ujung. Sambil bejalan tenang kian kemari, polisi itu puas benar dan sudah mau berangkat. Kegembiraanku amat kuat sampai tak terkendali. Keinginan melonjak-lonjak untuk untuk mengatakan sepatah kata sebagai alamat kemenanganku, agar lebih-lebih menguatkan lagi keyakinan mereka, bahwa aku tak bersalah. “Tuan, saya dapat membersihkan diri dari syak wasangka tuan-tuan. Saya ucapkan terima kasih. Tunggu sebentar tuan-tuan. Ini, ya, ini adalah rumah yang kokoh sekali pembuatannya.”kataku saat mereka menaiki tangga.Keinginanku tak tertahan untuk member kesan bahwa aku sama sekali tidak gelisah, maka itulah sebabnya omonganku tak karuan “Boleh dikatakan pembuatan rumah ini sempurna.Tembok-tembok ini… tuan-tuan sudah mau pergi?. Tembok-tembok ini akan tetap bertahan walaupun ada gempa bumi.” Maka dengan begitu aku terbawa oleh keberanian yang gila. Aku memukul keras dengan tongkat yang kupegang pada bagian temboknya, dimana di belakangnya berdiri mayat istriku yang tercinta. Hendaknya Tuhan melindungi serta menyelamatkan aku dari iblis. Baru saja gema pukulan-pukulan tenggelam dalam kesunyian, maka aku pun dijawab oleh suara-suara kubur…. Oleh jerit yang semula sayup-sayup dan putus-putus…. Seperti tangis seorang anak, lalu cepat melantang jadi teriakan panjang, keras dan tak habis-habis. Bukan seperti suara manusia yang fitri, tapi suara mengaum pekik meratap-ratap, pekik kemenangan yang mengerikan, seperti hanya mungkin terlontar dari neraka, terpaku dari kerongkongan mereka yang terkutuk dan teraniaya. Bersama teriakan iblis-iblis yang gembira atas penderitaan korba-korban mereka.

Tak dapat dilukiskan apa yang kurasakan waktu itu, aku hamper pingsan, aku sempoyongan kea rah tembok di seberangnya. Sesaat lamanya kumpulan agen itu berdiri tak bergerak di atas tangga, terjerat oleh kejut dan kengerian. Saat berikutnya selusin tangan-tangan kuat sibuk membongkar tembok. Aku tergolek di lantai. Mayat yang setengah rusak dan diliputi darah kental itu berdiri tegak di depan penonton-penontonnya. Di atas kepala duduklah kucing yang menjijikan itu, dengan mulut menganga lebar dan matanya menyala-nyala. Dialah yang menyebabkan aku jadi pembunuh, dengan suara khianatnya kini menyerahkan diriku pada algojo. Si momok telah ikut kutembok.



Selesai