Keluarga Batak berbahasa Sunda

Bapak yang orang Batak sudah tinggal di Bandung jaman dia masih bujangan. Beliau kemudian menikah dengan emak yang juga orang Batak, dan tetap tinggal di Bandung, sampai keduanya akhirnya dipanggil Tuhan.

Sejak awal rumah tangga Bapak dan Emak, mereka tinggal di sebuah asrama tentara. Rumah berdempet-dempetan tanpa pagar membuat kami tumbuh besar dengan kebiasaan dan juga bahasa Sunda. Jangan salah, saya dan keenam kakak-abang tidak hanya lancar berbahasa Sunda, tetapi juga kami mampu berkomunikasi dengan bahasa Sunda yang halus. Orang Sunda asli aja banyak yang ngga bisa bahasa Sunda halus lho...

Seorang abang saya menikah dengan orang Solo. Ini jadi menarik. Ceritanya di suatu hari, di sebuah acara funeral seorang paman yang baru meninggal dunia, saya dan kakak ipar berbicara dengan bahasa Indonesia dengan perlahan sambil mencuci piring di dapur paman. Tiba-tiba seorang ibu-ibu yang tak saya kenali mendatangi kami lalu berkata seperti ini, “Pelan kali suara orang-orang Sunda ini. Ngobrol pun kalian tak kedengaran.” Kami berdua hanya cengar cengir. Lalu Ibu tersebut memandang kakak ipar saya dan berkata, “Kamu sudah lama kawin sama orang batak, harusnya sudah lancar dong bahasa bataknya.”

Owh, kakak iparku dengan polos menjawab, “Abis gimana, diajarinnya bahasa Sunda sama keluarga mereka...” kakak iparku menunjuk padaku. Kami berdua lalu tertawa pelan dan si ibu ngeloyor.
Suer, kami sekeluarga bangga menjadi orang Batak. Kami bisa kok berbahasa Batak. Hanya bahasa sehari-hari kami di rumah memang bahasa Sunda. Ini hanya masalah kebiasaan kok, bukan tidak menghargai budaya sendiri.

Suatu hari, abang tertua ditugaskan oleh kantornya pergi ke Jepang. Pada masa itu, yang punya telepon rumah hanya orang-orang kaya saja, kami sih baru punya bertahun-tahun kemudian. Untuk menjaga komunikasi, abang mengirimi kami surat menceritakan keadaanya di sana. Sebelum surat dibuka, kami di rumah main tebak-tebakan dulu. Kira-kira, abang nulis surat pake bahasa apa ya?

Emak yakin, abang menulis surat pake bahasa Indonesia. Aku sih ngga percaya, paling-paling pake bahasa Sunda. Tapi seorang kakak mengatakan kalau pake bahasa sunda tertulis kan ribet, harus pake ‘eu’ untuk beberapa kata dan keribetan-keribetan lainnya. Ada juga yang berkomentar, kalau pake bahasa Sunda, Abang kira-kira pake bahasa halus atau kasar? Begitulah, semua berpendapat berbeda-beda dan kami pun akhirnya membuka surat itu.

HIAHHH!! Ternyata abang pake tiga bahasa. Ada bahasa Sunda, bahasa batak dan bahasa Indonesia. Kami semua tergelak! Surat yang aneh...

Kedua kakak wanitaku menikah dengan orang batak yang besar di Bandung. Mereka tak sulit menyesuaikan diri dengan keluarga kami. Yang dimaksud adalah, mereka tidak takut kalau kami membicarakan mereka di belakang. Habis, pake bahasa apa lagi coba? Bahasa Indonesia? Bahasa Batak? Bahasa Sunda? Bahasa Inggris? Kedua abang ipar pasti mengerti kalau kami ingin menggosip tentang mereka.

Tapi bukan keluargaku kalau masalah bahasa aja kalah! Selain bahasa-bahasa yang tadi sudah saya sebut, kami masih punya bahasa rahasia. Namanya rahasia, saya ngga akan sebutkan di sini bagaimana membaca bahasa sandi keluarga kami. Yang jelas, dengan bahasa rahasia ini, kami masih bisa punya privasi. Sayangnya, para ipar ini tak tinggal diam. Mereka mati-matian belajar bahasa rahasia kami, sehingga meski di awal masih sering salah-salah, mereka menyatakan diri telah mengerti bahasa rahasia keluarga kami.

Parahnya, ipar-ipar itu telah dengan cuek bebek menyebarkan bahasa rahasia kami pada keluarga mereka masing-masing. Yah, udah bukan rahasia lagi sekarang. Kami jadi kesulitan kalau ingin ngomongin orang lain di depan orangnya langsung. Yah, mungkin memang begitu seharusnya, kami tak boleh lagi membicarakan orang lain, hihihihi...

Ketika anak dari kakak ketiga saya masih balita, dia sering melarang ibunya telpon-telponan. Apalagi dengan saya, pasti dia langsung merebut telepon dan berbicara ngarol ngidul dengan bahasa bayi dengan saya. Setelah merasa puas berbicara dengan saya, dia pun menutup telepon, sehingga ibunya tak jadi ngerumpi dengan saya.

Suatu hari, kakak menelepon saya.
“Da, sedang apa?” Tanyanya pada saya. Panggilan saya Ida yah, jangan lupa. Tapi, heih, kakak kok pake bahasa Indonesia.
“Teu keur nanaon. Aya naon kitu?”
“Ngga, ada yang mau saya tanya.” Ih kakak aneh.
“Naon sih? Meni resmi kitu...”
“Bukan begitu, ada yang mau saya omongin...”
“Kunaon sih maneh? Aneh...”
“eh, ini di sebelah ada... biasa... Aduh, hese euy urang ngomongna.” Kakak memelankan susaranya, hampir berbisik. Lalu terdengar suara teriakan dari belakang, “Aaaaaahhhh, mama lagi ngomong sama tante jay yaaaa?”
“Bukan, ini temen mama...” Kakak mengelak.
“Ahhhh, tadi pake bahasa Sunda, pasti sama tante jay...!”
“Bukan!” kakak bertahan. Tapi sedetik kemudian, suara di seberang sudah berubah. Akhirnya aku pun mengobrol dengan keponakan tercinta dengan bahasa bayi dan topik yang tak jelas.

Suatu hari, ada acara adat batak yang harus kami jalani, namanya Manulangi. Arti kata manulangi sendiri adalah ‘menyuapi’. Secara adat, arti dari kegiatan ini adalah anak-anak menyuapi orang tua, sebagai tanda kasih sayang dan hormat pada orang tua. Dalam hal ini, yang akan kami ‘sulangi’ (suapi) adalah Bapak karena Emak sudah lebih dulu meninggal dunia. Ritual dimulai dengan pidato dari tua-tua adat.

Yah, namanya acara adat, semua dilakukan dengan bahasa pengantar bahasa Batak. Karena kami mengerti bahasa Batak, tentunya kami dapat mengikuti acara ini dengan baik. Bahkan karena suasana mengharukan, kami semua menangis, ada yang terisak, ada yang tersedu-sedu.

Setelah beberapa rangkaian acara, mulailah acara menyuapi. Caranya adalah, setiap anak dan menantu beserta cucu maju ke depan satu persatu, lalu menyuapi Bapak dengan sesuap nasi dan ikan mas, sambil menyatakan isi hati pada Bapak. Boleh berupa pengakuan, janji, nasehat atau minta maaf. Bebas pokoknya. Ini antara anak dan bapaknya.

Suasana waktu itu makin haru, ketika anak pertama muali maju ke depan. Abang menyuapi Bapak, dan berkata-kata dengan bahasa Sunda. Suasana tetap haru, dilanjutkan dengan abang ke dua dan seterusnya sampai saya yang anak bungsu. Semuanya dilakukan dalam bahasa Sunda. Suasana tetap haru.

Acarapun selesai, barulah suasana haru berubah kocak. Keluarga besar semua berseloroh... “Ini acara adat Batak kok diselenggarakan dengan bahasa Sunda” kata mereka. Baru setelah itu kami sadar dan semua tertawa. Keluarga besar yang tak mengerti bahasa sunda, baru saja mengikuti sebuah acara adat Batak tanpa mengerti apa yang kami katakan pada Bapak.

Sekarang, hampir semua anggota keluarga punya facebook. Kalau iseng-iseng memperhatikan cara kami berkomunikasi di facebook, yup! Kami saling menulis wall, mengisi comment dengan bahasa Sunda. Whieeewww. What a unique family yaaa... Orang Sunda aja ngga gitu-gitu amat keknya!

By Jainar Berliana/Jimat (94)

0 komentar: