EPISODE VI
Malam-malam berikutnya beranda itu dihiasi tawa bahagia dan tangis kesedihan Diana. Semua tentang Andra, lelaki yang ia cintai kini. Selalu tentang Andra. Bagaimana Andra telah mengisi hari-harinya dengan keindahan, juga tentang kecemburuan dan penantiannya saat Andra harus pergi menemui kekasihnya di kota lain.
Hingga satu malam, Diana menumpahkan kecemasannya akan Tian, lelaki yang telah menjadi suaminya. Tian yang selalu bepergian ke luar kota. Tian yang tak pernah menganggapnya ada. Tian yang hanya akan pulang saat orang tuanya ingin bertemu. Bukan karena ingin tahu keadaan sang istri, apalagi karena merindukannya.
Entah kenapa malam itu Diana merasa sangat cemas, Tian menelponnya tadi siang. Tian bilang malam ini ia akan pulang. Perasaannya berkata akan terjadi hal yang buruk, entah apa itu. Di antara kekhawatirannya, Diana mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Diana tahu Tian telah datang. Ia bergegas turun untuk menyambut suaminya. Beranda itu tampak hening. Sepi.
Tak bertuan.. di temani malam berlapis bintang. Malam berlalu begitu saja hingga fajar kembali menyapa. Tak ada yang terjadi malam itu. Semua terlelap dalam lelahnya.
****
“Tian sudah kembali, Ma. Tapi tak banyak yang berubah. Dia tetap dingin. Dia bukan lagi sahabat yang aku kenal dulu. Dia bukan lagi kekasih yang aku tunggu bukan juga seorang suami yang dulu mencintaiku dan selalu menyapaku hangat. Dia hanya seorang asing yang berstatuskan suamiku. Kebersamaan kami kini hanya dihabiskan dalam diam. Berkali aku coba membangun percakapan dengannya, tapi apa yang ku dapat? Hanya sebuah senyum kaku yang dipaksakan. Tak ada kata yang terucap. Jika pun akhirnya dia mengucap kata, maka pertengkaranlah yang akan menjadi penyelesaiannya.”
Malam ini hujan turun cukup deras. Aneh, sudah lama langit tak menangis karena memang seharusnya hujan tidak turun di musim kemarau seperti saat ini. Alam berbahasa, dia ikut menangis saat ada insan yang terluka. Seperti Diana, malam ini matanya terlihat sembab setelah hampir seharian ini dia menangis. Sesekali masih terlihat ia menahan isak. Tapi kali ini ada yang berbeda. Diana tidak lagi ada di beranda kamarnya, melainkan di sebuah bangku taman di tengah kota. Ia membiarkan tubuhnya basah terguyur hujan.
“Seperti yang baru saja terjadi, Ma, itu adalah pertengkaran terhebat yang pernah terjadi selama dua tahun ini. Tian bilang menikahiku adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Hatiku tersakiti, Ma. Selama ini, Tian yang selalu meninggalkan aku. Selama ini aku yang selalu tersakiti. Dan tadi Tian menamparku hanya karena aku menanyakan apakah ada wanita lain. Mama lihat sendiri kan? Ma.. aku sungguh tidak bahagia. Aku capek dengan semua ini. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya, Ma. Mungkin ini yang terbaik.”
Malam semakin hening. Dalam kegalauannya muncul wajah Andra di benaknya. Sudah dua hari ini diana tak bertemu dengan Andra karena Andra tahu Tian akan pulang. Andra pikir itu yang terbaik. Andra tidak ingin Diana menjadi semakin menderita jika Tian tahu apa yang tengah terjalin di antara mereka berdua dan Diana mengerti itu. Diana tiba-tiba meraih saku jaketnya dan mengeluarkan handphonenya. Jari jemarinya yang memucat karena dingin menekan keypad handphonenya perlahan. Sejenak ada ragu menghiasi wajahnya, tapi terlambat, sudah ada yang menjawab teleponnya di ujung sana.
“Kenapa, Yang? Lagi di mana? Tian mana?” Sebuah suara yang selalu Diana rindukan, yang selalu temani malam-malamnya saat Tian tak ada.
“Ndra, Diana berantem hebat sama Tian. Diana capek, Ndra. Andra di mana?” Suara Diana bergetar.
“Andra lagi di jalan, Yang, Niar minta Andra datang malam ini. Andra ga bisa tolak, Yang. Niar lagi bener-bener butuh Andra. Ayang di mana sekarang? Baik-baik aja kan Yang?” Andra terdengar cemas di ujung sana. Hening sejenak. “Yang??”
Air mata Diana sudah tak tertahankan lagi, tapi ia berusaha untuk tegar. Ia tak ingin Andra mendengar suara tangisnya. Dengan berat akhirnya Diana menjawab, “Iya, Ndra. Ya sudah, pergilah. I'll be alright. Just go and see her, temui Niar dengan senyuman. Salam Diana buat Niar. Take care ya, Love you.” Klik. Diana memutuskan sambungan telfonnya sebelum akhirnya mematikan handphonenya.
Diana merasa seperti tertimpa ribuan batu besar, kepalanya terasa berat, dadanya sangat sesak. Dunianya gelap...
By:Dini Nurdiyanti/Skandal
Malam-malam berikutnya beranda itu dihiasi tawa bahagia dan tangis kesedihan Diana. Semua tentang Andra, lelaki yang ia cintai kini. Selalu tentang Andra. Bagaimana Andra telah mengisi hari-harinya dengan keindahan, juga tentang kecemburuan dan penantiannya saat Andra harus pergi menemui kekasihnya di kota lain.
Hingga satu malam, Diana menumpahkan kecemasannya akan Tian, lelaki yang telah menjadi suaminya. Tian yang selalu bepergian ke luar kota. Tian yang tak pernah menganggapnya ada. Tian yang hanya akan pulang saat orang tuanya ingin bertemu. Bukan karena ingin tahu keadaan sang istri, apalagi karena merindukannya.
Entah kenapa malam itu Diana merasa sangat cemas, Tian menelponnya tadi siang. Tian bilang malam ini ia akan pulang. Perasaannya berkata akan terjadi hal yang buruk, entah apa itu. Di antara kekhawatirannya, Diana mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Diana tahu Tian telah datang. Ia bergegas turun untuk menyambut suaminya. Beranda itu tampak hening. Sepi.
Tak bertuan.. di temani malam berlapis bintang. Malam berlalu begitu saja hingga fajar kembali menyapa. Tak ada yang terjadi malam itu. Semua terlelap dalam lelahnya.
****
“Tian sudah kembali, Ma. Tapi tak banyak yang berubah. Dia tetap dingin. Dia bukan lagi sahabat yang aku kenal dulu. Dia bukan lagi kekasih yang aku tunggu bukan juga seorang suami yang dulu mencintaiku dan selalu menyapaku hangat. Dia hanya seorang asing yang berstatuskan suamiku. Kebersamaan kami kini hanya dihabiskan dalam diam. Berkali aku coba membangun percakapan dengannya, tapi apa yang ku dapat? Hanya sebuah senyum kaku yang dipaksakan. Tak ada kata yang terucap. Jika pun akhirnya dia mengucap kata, maka pertengkaranlah yang akan menjadi penyelesaiannya.”
Malam ini hujan turun cukup deras. Aneh, sudah lama langit tak menangis karena memang seharusnya hujan tidak turun di musim kemarau seperti saat ini. Alam berbahasa, dia ikut menangis saat ada insan yang terluka. Seperti Diana, malam ini matanya terlihat sembab setelah hampir seharian ini dia menangis. Sesekali masih terlihat ia menahan isak. Tapi kali ini ada yang berbeda. Diana tidak lagi ada di beranda kamarnya, melainkan di sebuah bangku taman di tengah kota. Ia membiarkan tubuhnya basah terguyur hujan.
“Seperti yang baru saja terjadi, Ma, itu adalah pertengkaran terhebat yang pernah terjadi selama dua tahun ini. Tian bilang menikahiku adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Hatiku tersakiti, Ma. Selama ini, Tian yang selalu meninggalkan aku. Selama ini aku yang selalu tersakiti. Dan tadi Tian menamparku hanya karena aku menanyakan apakah ada wanita lain. Mama lihat sendiri kan? Ma.. aku sungguh tidak bahagia. Aku capek dengan semua ini. Aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya, Ma. Mungkin ini yang terbaik.”
Malam semakin hening. Dalam kegalauannya muncul wajah Andra di benaknya. Sudah dua hari ini diana tak bertemu dengan Andra karena Andra tahu Tian akan pulang. Andra pikir itu yang terbaik. Andra tidak ingin Diana menjadi semakin menderita jika Tian tahu apa yang tengah terjalin di antara mereka berdua dan Diana mengerti itu. Diana tiba-tiba meraih saku jaketnya dan mengeluarkan handphonenya. Jari jemarinya yang memucat karena dingin menekan keypad handphonenya perlahan. Sejenak ada ragu menghiasi wajahnya, tapi terlambat, sudah ada yang menjawab teleponnya di ujung sana.
“Kenapa, Yang? Lagi di mana? Tian mana?” Sebuah suara yang selalu Diana rindukan, yang selalu temani malam-malamnya saat Tian tak ada.
“Ndra, Diana berantem hebat sama Tian. Diana capek, Ndra. Andra di mana?” Suara Diana bergetar.
“Andra lagi di jalan, Yang, Niar minta Andra datang malam ini. Andra ga bisa tolak, Yang. Niar lagi bener-bener butuh Andra. Ayang di mana sekarang? Baik-baik aja kan Yang?” Andra terdengar cemas di ujung sana. Hening sejenak. “Yang??”
Air mata Diana sudah tak tertahankan lagi, tapi ia berusaha untuk tegar. Ia tak ingin Andra mendengar suara tangisnya. Dengan berat akhirnya Diana menjawab, “Iya, Ndra. Ya sudah, pergilah. I'll be alright. Just go and see her, temui Niar dengan senyuman. Salam Diana buat Niar. Take care ya, Love you.” Klik. Diana memutuskan sambungan telfonnya sebelum akhirnya mematikan handphonenya.
Diana merasa seperti tertimpa ribuan batu besar, kepalanya terasa berat, dadanya sangat sesak. Dunianya gelap...
By:Dini Nurdiyanti/Skandal
0 komentar:
Posting Komentar