EPISODE V
Setelah satu malam kelabu, di antara biru yang sempat singgah, terlalui dengan kegundahan Diana akan cinta yang tak seharusnya ia miliki, Diana kembali hadir di beranda sepi itu. Beranda yang senantiasa menemani perenungan malamnya.
Entah apa yang sedang terjadi di langit malam ini, tapi malam ini langit berwarna jingga. Tak ada angin yang berhembus. Sepi. Semua sudah terlelap dalam mimpinya masing-masing, tapi tidak dengan Diana. Ia menikmati jingga nya langit malam ini. Ia terduduk di bangku kecil itu, tapi ada yang berbeda kali ini, pandangannya kosong.
“Aku ingin Mama di sini. Aku ingin tahu apa mama akan memaklumkan apa yang tengah terjadi dalam kehidupanku saat ini. Aku tahu Mama tak pernah ingin aku menjadi seperti Mama. Aku juga tak mau begitu, Ma, tapi terlambat.. Aku sudah menjadi seperti Mama. Aku mencintai lelaki lain saat aku masih terikat status pernikahan, dan aku juga mencintai orang yang telah memiliki seorang kekasih padahal aku tahu mereka juga saling mencintai. Tapi aku pun yakin dia mulai mencintai aku juga dan perasaan yang ada di antara kami tumbuh begitu saja seiring waktu, hingga akhirnya mengakar kuat dalam setiap aliran darah kami. Rasa sayang itu tumbuh perlahan dari setiap detik kebersamaan yang telah terjalin di antara kami. Kami saling menyayangi.
Namun akhirnya hal itu membawa masalah baru untukku, dengan statusnya yang telah memiliki seorang kekasih yang juga dia sayangi sehingga berkali-kali aku harus merelakan dia membagi perhatian dan waktunya, untukku dan dia.
Aku seakan tersadar satu hal. Ternyata Mama dan Bunda, dua ibuku, adalah wanita-wanita yang sangat kuat dan hebat. Tak sedikit pun mengeluh atau bahkan menampakkan kesedihan saat Ayah harus membagi waktunya dengan salah satu di antara kalian. Tak pernah ada gurat kecewa meski lara itu ada menorehkan luka di hati kalian. Dan akhirnya kali ini aku belajar sekuat Mama dan sesabar Bunda, membiarkan orang yang aku cintai membagi waktu dengan kekasihnya yang lain.
Sering kali terasa sakit, Ma, Aku bahkan tak mengerti bagaimana Mama dan Bunda sanggup hadapi itu semua. Tapi ternyata selalu ada akhir yang indah saat kami kembali bertemu. Semua seolah terbayarkan. Mungkin inilah yang dulu Mama dan Bunda rasakan.
Hmmm.. Ternyata sulit ya, Ma. Seperti malam ini, saat dia harus pergi menemui kekasihnya dan aku sama sekali tak bisa melarang. Aku tak sanggup membayangkan dia memeluknya, menatapnya seperti saat dia menatapku atau sekedar bercengkrama melepas rindu. Tapi aku harus membuang jauh-jauh bayang itu, karena semua gambaran itu hanya akan menambah luka di hatiku. Aku hanya harus mempercayainya. Meyakini bahwa dia akan kembali untukku dengan semua rasa cinta dan sayang yang dia miliki untuk aku. Dan aku hanya harus berada di sini, melewati malamku, menanti dia kembali.”
Jingga perlahan memudar dan langit kembali menjadi gelap. Diana menengadah menatap langit. Sedetik kemudia ia menghela nafas dan perlahan beranjak memasuki ruang kamarnya. Ia kembali menatap langit sejenak, matanya menerawang melalui pintu kaca kamarnya. Angannya melayang jauh ke sana, ke tempat di mana saat ini ada sepasang kekasih yang sedang melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu karena jarak memisahkan mereka. Diana kemudian tersadar dan menggelengkan kepalanya berharap dengan begitu semua bayang itu akan sirna, sebelum akhirnya menutup tirai pintu kamarnya. Beranda itu kembali sepi.
By:Dini Nurdiyanti/Skandal
Setelah satu malam kelabu, di antara biru yang sempat singgah, terlalui dengan kegundahan Diana akan cinta yang tak seharusnya ia miliki, Diana kembali hadir di beranda sepi itu. Beranda yang senantiasa menemani perenungan malamnya.
Entah apa yang sedang terjadi di langit malam ini, tapi malam ini langit berwarna jingga. Tak ada angin yang berhembus. Sepi. Semua sudah terlelap dalam mimpinya masing-masing, tapi tidak dengan Diana. Ia menikmati jingga nya langit malam ini. Ia terduduk di bangku kecil itu, tapi ada yang berbeda kali ini, pandangannya kosong.
“Aku ingin Mama di sini. Aku ingin tahu apa mama akan memaklumkan apa yang tengah terjadi dalam kehidupanku saat ini. Aku tahu Mama tak pernah ingin aku menjadi seperti Mama. Aku juga tak mau begitu, Ma, tapi terlambat.. Aku sudah menjadi seperti Mama. Aku mencintai lelaki lain saat aku masih terikat status pernikahan, dan aku juga mencintai orang yang telah memiliki seorang kekasih padahal aku tahu mereka juga saling mencintai. Tapi aku pun yakin dia mulai mencintai aku juga dan perasaan yang ada di antara kami tumbuh begitu saja seiring waktu, hingga akhirnya mengakar kuat dalam setiap aliran darah kami. Rasa sayang itu tumbuh perlahan dari setiap detik kebersamaan yang telah terjalin di antara kami. Kami saling menyayangi.
Namun akhirnya hal itu membawa masalah baru untukku, dengan statusnya yang telah memiliki seorang kekasih yang juga dia sayangi sehingga berkali-kali aku harus merelakan dia membagi perhatian dan waktunya, untukku dan dia.
Aku seakan tersadar satu hal. Ternyata Mama dan Bunda, dua ibuku, adalah wanita-wanita yang sangat kuat dan hebat. Tak sedikit pun mengeluh atau bahkan menampakkan kesedihan saat Ayah harus membagi waktunya dengan salah satu di antara kalian. Tak pernah ada gurat kecewa meski lara itu ada menorehkan luka di hati kalian. Dan akhirnya kali ini aku belajar sekuat Mama dan sesabar Bunda, membiarkan orang yang aku cintai membagi waktu dengan kekasihnya yang lain.
Sering kali terasa sakit, Ma, Aku bahkan tak mengerti bagaimana Mama dan Bunda sanggup hadapi itu semua. Tapi ternyata selalu ada akhir yang indah saat kami kembali bertemu. Semua seolah terbayarkan. Mungkin inilah yang dulu Mama dan Bunda rasakan.
Hmmm.. Ternyata sulit ya, Ma. Seperti malam ini, saat dia harus pergi menemui kekasihnya dan aku sama sekali tak bisa melarang. Aku tak sanggup membayangkan dia memeluknya, menatapnya seperti saat dia menatapku atau sekedar bercengkrama melepas rindu. Tapi aku harus membuang jauh-jauh bayang itu, karena semua gambaran itu hanya akan menambah luka di hatiku. Aku hanya harus mempercayainya. Meyakini bahwa dia akan kembali untukku dengan semua rasa cinta dan sayang yang dia miliki untuk aku. Dan aku hanya harus berada di sini, melewati malamku, menanti dia kembali.”
Jingga perlahan memudar dan langit kembali menjadi gelap. Diana menengadah menatap langit. Sedetik kemudia ia menghela nafas dan perlahan beranjak memasuki ruang kamarnya. Ia kembali menatap langit sejenak, matanya menerawang melalui pintu kaca kamarnya. Angannya melayang jauh ke sana, ke tempat di mana saat ini ada sepasang kekasih yang sedang melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu karena jarak memisahkan mereka. Diana kemudian tersadar dan menggelengkan kepalanya berharap dengan begitu semua bayang itu akan sirna, sebelum akhirnya menutup tirai pintu kamarnya. Beranda itu kembali sepi.
By:Dini Nurdiyanti/Skandal
0 komentar:
Posting Komentar