SIMPLIFY COMPLEXITY

Dalam perjalanan dari Padang menuju Kabupaten Padang Pariaman, saya terlibat dalam sebuah percakapan dengan seorang sahabat. Setelah beberapa topik kami bahas, dia berkata, “Jay, lu itu orangnya simple banget yah!” Spontan saya menjawab, “Ngga, gw bukan orang yang simple.”

Kemudian saya teringat beberapa waktu yang lalu ketika dokter mengatakan bahwa saya hanya boleh mengkonsumsi jenis makanan tertentu saja, saya menurut dan akhirnya saya mengalami kejenuhan. Saya bilang pada kakak saya, “Saya stress dengan makanan saya.” Kakak saya mengomentari dengan kalimat, “Da, kumaha sih hirup teh? Maenya dahar wae stress?” (Da, gimana sih hidup itu? Masa makan saja stress?). Waktu itu saya tertawa, kakak saya benar. Orang di luar sana tidak makan, sementara saya stress karena jenis makanan saya yang itu-itu saja. Sungguh inappropriate… Akhirnya saya berhenti rewel, kemudian mulai terbiasa dengan makanan saya. Kelihatannya simple kan? Stop complaining, start enjoying. Saudaraku, melaksanakannya sungguh tidak sesimple itu...

Saya bukan orang yang simple, tapi mengapa terlihat simple (untuk beberapa orang?)

Menurut saya, hidup saya itu sangat luar biasa rumit. Bukan karena hidup saya benar-benar rumit, tetapi karena saya seringkali menjadikan sesuatu itu rumit. Ada hal-hal yang bisa saya ringkas, tapi saya pilih jalan berbelit-belit. Itu sebabnya, saya memutuskan untuk berubah, menjadikan hidup saya lebih simple.

Saya teringat Abang ipar saya, dia selalu mengatakan SIMPLIFY COMPLEXITY. Dia bilang "setiap persoalan yang kita hadapi dalam hidup kita adalah persoalan yang sepele dan tidak harus dipusingkan". Namun ketika saya menjejali pikiran saya dengan kata, “simplify complexity”, apakah kerumitan itu hilang???

Saya kembali dulu ke percakapan saya di perjalanan menuju Padang Pariaman. Saya bertanya pada teman saya tadi, apa yang membuat dia berfikir saya itu orang yang simple? Jawabannya adalah, karena (kurang lebih) saya sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengarah ke situ. Lihat saja, dengan impulsifnya, saya tiba-tiba berada di Padang, yang kalau di tanya orang ngapain, dengan cueknya saya menjawab, “Mau menghibur relawan!” Hey, apapun alasan saya pergi ke sana, yang jelas saya punya alasan.It's a secret la! Tapi cara saya menjawab pertanyaan emang suka asal, hahaha. Lihat saja status dan komentar-komentar di FB saya, semuanya suka saya jawab dengan asal! Itu sebabnya kadang saya juga sering disebut sebagai orang yang cuek!

Iya juga yah, kalau dipikir-pikir, saya itu sering sekali berkata, “Ya udahlah…” “Biarin aja lah..” “Santai aja lah…” dan sejenisnya. Kesannya emang simple ya? Lantas, profesi saya sebagai penyiar juga mengarahkan saya pada sebuah identitas ‘orang yang simple’.

Setelah memikirkannya, sekarang saya mengerti mengapa saya terlihat simple. (Lihat! Saya memikirkannya, padahal bisa saja saya melupakan percakapan itu kan?) Dalam berkarya, dalam kehidupan sosial saya, dalam pekerjaan saya, saya cenderung menghasil output yang ringan. Misalnya ketika sedang siaran. Saya memberikan salam, baca SMS, baca topik, melucu, dan pendengar berfikir, hmm ringan… Ini penyiarnya cuek banget! Di lain kesempatan, saya bisa tertawa, sinis, smart, pura-pura tidak tahu, emang betulan tidak tahu, atau malas bicara jadi puter lebih banyak lagu, seakan-akan hidup saya sama dengan kehidupan yang saya hembuskan disaat siaran.

Kenyataannya? Tanyakan saja pada para pekerja ‘broadcast’ lainnya, betapa rumitnya kehidupan “di belakang layar”. Huhuhu… Dari mulai mencari keselarasan antara produser, marketing dan pemilik radio, kemudian buat bahan, menyamakan visi misi, menghadapi klien semuanya itu complicated saudara-saudara. Jadi, membuat bahan siaran yang RINGAN membutuhkan kerja yang BERAT. Indeed.

Banyak orang mengatakan novel saya adalah novel yang simple. Padahal saya membuatnya dengan sangat rumit. Perjalanan membuat cerita yang RINGAN tersebut membutuhkan perjuangan yang BERAT. Untuk 5-7 halaman pada saat saya mendiskripsikan seperti apa papua, saya benar-benar sedang ada di sana, dan apa yang saya alami di sana sehingga tertuang ide cerita ini, sungguh tidak enak untuk dikenang. Untuk sebuah bab di Aceh, saya menjalani dan melihat sulitnya kehidupan pasca tsunami, dan secara pribadi saya sempat mengalami trauma karena melihat hal-hal yang tidak mengenakan mata saya. Untuk sebuah kisah cinta, saya mengamati ratusan kisah cinta. Tapi sungguh, saya sangat menikmati proses tersebut. Saya, adalah orang yang sangat menikmati sebuah proses, apa pun bentuknya.

Kembali ke SIMPLIFY COMPLEXITY yang akhir-akhir ini sering saya baca di status YM Abang saya (pinjem ya bang…). Apakah dengan menjalankan prinsip ini, kita hanya menerima persoalan-persoalan sepele saja? Menolak tantangan untuk mengerjakan sesuatu yang rumit? Tentu tidak, bukan itu maksudnya.

Intinya adalah, jangan jadi pusing karena sebuah masalah. Sesukar apa pun bentuknya persoalan kita, kalau kita melihatnya sebagai persoalan biasa, kita akan mendapatkan kekuatan untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah tersebut. See, terlihat simple bukan? Yeaaahh, saya tahu prakteknya tidak mudah, but I’m workin’ on it! Ini saya lagi nasehatin diri sendiri kok ;)


Salam,
Jay/Jimat

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam DIA yang memberi kekuatan padaku”

0 komentar: