Episode Malam-Malam Diana __ Final Chapter

Malam ini langit tampak gersang. Tak ada bulan atau pun bintang bahkan awan berarak sekali pun. Angin malam pun seolah enggan bertiup, mungkin ia enggan meniupkan kesedihan di malam ini. Sudah hampir dua minggu lamanya Diana terbaring dalam ruangan serba putih itu. Tak ada tanda-tanda kesadaran menghampirinya. Semua keheningan seolah bertumpuk di sana, satu-satunya suara yang ada hanya dari alat pacu jantung yang terpasang di dada Diana. Diana masih enggan untuk menggapai kesadarannya.

Ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Jika biasanya dua pria itu berada di dua ruangan yang berbeda, kali ini mereka duduk berhadapan, berseberangan. Sama-sama terduduk di samping Diana, menatap tubuh ringkih yang kini tergeletak tak berdaya namun tampak penuh kedamaian. Mereka sama-sama berharap mata itu akan terbuka, jari jemari itu akan bergerak perlahan dan senyum akan kembali terkembang di wajah ayu itu. mereka menunggu dengan sabar, mencoba berdamai dengan keadaan dan ke-absurd-an yang tercipta di antara mereka.

Sore itu, entah kenapa Tian akhirnya tergerak untuk mencari tahu siapa pria yang selalu ada di sana. Setiap hari saat siang menuju sore sampai malam, hingga menjelang dini hari, ia selalu berdiri memandangi sosok tubuh Diana di balik kaca jendela itu. Matanya memancarkan sorot yang sangat sulit dimengerti. Seperti sorot kesedihan yang bercampur amarah namun berusaha disembunyikan dengan kehangatan tatapannya. Tian tidak pernah menyapanya, begitu pun lelaki itu. Setiap kali Tian berjalan melewatinya, ia hanya berdiri terpaku di sana, tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari sosok Diana yang tengah terbaring.

"Bisa kita bicara sebentar?" Tian menghampirinya dan bertanya perlahan, wajahnya terlihat sangat tegang. Andra memandangnya dengan senyum di bibir, tak terlihat terkejut sedikitpun. " Ya, sudah saatnya kita bicara."

Mereka berjalan menuju ruang tunggu yang sangat lengang. Masing-masing dengan pikirannya sendiri, menebak-nebak apa yang akan dikatakan, apa yang akan terungkap.

"Maaf, saya belum sempat mengenalkan diri," Andra mengulurkan tangannya perlahan sejenak setelah mereka duduk di ruang tunggu itu. "Andra. Dan anda pasti Tian kan? Diana banyak bercerita tentang anda." suara itu sedikit bergetar saat menyebutkan nama Diana, seolah sedang ada badai yang berkecamuk mengganggu pita suaranya. Tian tersenyum kaku. "Pasti bukan menceritakan hal yang baik ya? Kalau boleh aku tahu, sejak kapan anda berhubungan dengan istri saya? Maaf jika aku berasumsi seperti ini, tapi melihat anda sangat setia menunggui istriku, aku menyimpulkan anda bukan hanya seorang teman untuknya kan?" Entah kenapa semua pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Tian. Tian terlihat gusar sekarang. Ia menyesal telah mengatakan semua itu karena ternyata ia masih belum siap untuk mendengar apa pun yang telah terjadi di antara mereka.

Lagi-lagi Andra hanya tersenyum. Dia melihat gurat gundah di wajah Tian. Ia sebetulnya sangat ingin memaki lelaki di hadapannya. Lelaki bodoh yang telah menyia-nyiakan seorang putri yang begitu berharga untuknya, seorang putri yang tak bisa ia miliki meski sangat ia inginkan. Seorang putri yang kini tengah terbaring tak sadarkan diri di ruang serba putih itu. Tapi ia hanya bisa tersenyum dan kemudian berkata, "Ya, aku mencintai istri anda, kami saling mencintai. Maaf jika ini menyakiti anda, tapi anda harus tahu kebenarannya. Aku mencintainya sepenuh hatiku. Bagiku dia adalah seorang malaikat, dewi yang sempurna. Dan anda sungguh bodoh telah menyia-nyiakan nya."

Aliran kata-kata itu menjadi sembilu di hati Tian. Mengoyak hatinya. Ia sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi tapi ia tetap tak sanggup mendengar pria itu mengatakan hal ini langsung di gendang telinganya. Nadinya berdenyut cepat, ada gejolak amarah yang berkecamuk di dadanya. Ia benci mengakui ucapan pria itu ada benarnya. Ya, ia memang bodoh telah menyia-nyiakan Diana. Tapi bukan berarti boleh ada lelaki lain yang mencintai istrinya itu. Tapi ia juga tak bisa menyalahkan nya karena ia sadar ia telah bersikap buruk selama ini terhadap Diana. Tak pernah sedikit pun ia memperlakukan Diana sebagai seorang istri. Pernikahannya selama ini hanya sebuah status. Hanya sebuah ambisi untuk memiliki orang yang sangat sulit ia taklukkan. Tapi ternyata ia salah. Ia mencintainya. Ia mencintainya sejak dulu, hanya saja ego nya telah mengaburkan semua itu. Dan ia sungguh bodoh.

Tian terdiam. Begitu juga Andra. Hening. Sepi. Tak perlu lagi ada kata yang terucap. Mereka menyadari itu. Mereka sudah sangat mengerti. Tak ada yang bisa disalahkan atau dibenarkan. Itulah cinta. Tak ada yang salah dengan cinta.

Setelah terdiam cukup lama akhirnya Tian bangkit. "Masuklah, mungkin dengan kehadiranmu ia akan lebih cepat sadar. Apa pun yang akan terjadi nanti, biarlah dia yang tentukan pilihannya. Aku hanya ingin istriku kembali." Suaranya bergetar, menahan segala kecamuk di dadanya. "Terima kasih." Hanya itu yang terucap dari bibir Andra.

Lalu mereka berdua melangkah memasuki kamar itu, Andra segera menghampiri Diana. Ia memegang tangannya yang dingin dan mencium keningnya. Semua kerinduan itu tertumpahkan. Semua kesedihan yang terpendam terpancar keluar. Ada bulir bening di sudut matanya. "Yang, ini Andra, Yang. Ayang harus bangun. Ayang ga boleh bikin Andra cemas. Ayang ga boleh kaya gini terus. Andra udah memilih, Yang. Andra siap lepasin semuanya. Tapi Ayang harus bangun. Kita hadapi sama-sama ya." Andra sudah tak lagi mampu membendung bulir bening di ujung matanya. Ia sungguh ingin melihat kedua mata indah itu terbuka. Ia ingin bibir cantik itu tersenyum. Ia sangat merindukannya. Tapi tak ada yang terjadi, kedua mata itu tetap terpejam. Damai.

Sementara di sisi lain, wajah Tian mengeras. Ia menguatkan diri melihat dan mendengar semua itu. Ia tak menyangka ia harus menyaksikan sendiri semua ini. Ia tak menyangka ia masih memiliki rasa cemburu dan ia sangat takut kehilangan. Tapi Tian tak bisa berkata apa-apa. Ia membiarkan tangan lelaki lain menggenggam tangan istrinya. Apa pun akan ia lakukan asal ia bisa melihat istrinya tersenyum kembali.

Malam berlalu dalam hening. Kedua lelaki itu tetap di tempatnya. Tak sedikit pun mata mereka terpejam, tak ada sedikit pun percakapan yang terjalin. Hingga detik mengantar pergantian hari, sepi masih menemani. Hingga menjelang fajar kala matahari mulai menghangatkan dunia, tiba-tiba Andra merasakan jari-jari yang ia genggam bergerak perlahan. Ia terhenyak. Apa ini mimpi? Mungkinkah ia tertidur dan bermimpi? TIDAK! Ia tidak tertidur, ia tidak bermimpi karena ia melihat Tian juga tersentak. Mereka saling berpandangan sejenak. Mereka serentak bangkit. Andra memanggil Diana dengan lembut. "Yang... Ayang...Bangun sayang. Ini Andra, bangun yang." Jari-jari lentik itu kembali bergerak. Ada lonjakan yang aneh di hati Andra. Ia bahagia, tapi juga cemas. Perlahan ia membelai rambut Diana yang tergerai. Dan akhirnya kedua mata itu perlahan terbuka.

Diana menemukan seberkas cahaya terang yang menyilaukan matanya. Lalu setelah cahaya itu memudar ia menemukan sesosok wajah yang sangat ia rindukan. Ia melihat Andra, tersenyum dengan bulir air yang tertahan di pelupuk matanya. Ia bahagia melihat Andra. Ia tahu Andra selalu ada di sana, menungguinya. Lalu perlahan matanya bergerak ke satu sisi lainnya. Ia melihat Tian. Tapi kemudian Tian berlalu begitu saja. Ingin sekali Diana memanggilnya. Ada yang harus ia sampaikan. Tapi suaranya tercekat. Tak ada bunyi yang bisa ia keluarkan. Ia kembali menutup matanya perlahan. Mengumpulkan segala kekuatan yang tersisa.

"Yang, Andra seneng Ayang dah bangun. Ayang jangan kaya gini lagi. Andra akan selalu ada buat Ayang, Andra janji, Yang. Maafin Andra ga temenin Ayang waktu itu. Maafin, Yang." Andra menciumi tangan Diana. Ia bahagia dewi nya terbangun. Tapi entah kenapa ada rasa takut yang tiba-tiba menelusup. Lengan itu masih terasa sangat dingin. Ada perasaan aneh yang menghampiri. Sepertinya ia akan kehilangan sesuatu.

Diana kembali membuka matanya. Ia mengumpulkan suaranya dan berkata perlahan, "An.. dra..ma af udah bi kin An dra cemas. Ma na Ti an?" Andra sontak mencari Tian. Ia tak sadar Tian sudah tidak ada di sana. "Pang gil Tian, Ndra!" Belum sempat Andra beranjak, Tian sudah ada di pintu masuk bersama seorang dokter dan suster.

"Maaf sebaiknya kalian menunggu di luar, biar kami periksa dulu keadaan ibu Diana." Suster itu berkata sambil mempersilakan Tian dan Andra untuk keluar.

Tapi Diana mencegahnya. Ia memegang tangan Andra. " Ja ngan pergi, Ndra. Tian ju ga.A da yang ha rus ku sampai kan." Diana berkata terbata-bata. Tian segera menghampirinya.

"Tapi Ibu harus saya periksa dulu, Bu. Hanya sebentar saja." Kali ini pria separuh baya berjas putih itu yang berbicara.

"Se bentar sa ja, Dok. A da yang ha rus saya bi cara kan."

Andra urung beranjak. Sementara Tian membeku di tepi ranjang. Entah mengapa ia tahu saat yang ia takut kan akan segera datang.

"An dra sayang, makasih selama ini udah memberikan Diana kebahagiaa dan kekuatan. Makasih atas semua waktu dan kisah yang udah kita lewatin sama-sama. Maaf Di ana ja di menempatkan Andra di posisi yang su lit. I Love you, baby. I found my missing soul in you." Hening sesaat. Diana mengalihkan pandangannya pada Tian. "Ti an, maaf, Di ana belum bi sa jadi istri yang sem pur na. Maaf semu a nya jadi begini. Diana mencintai pria lain." Tian hanya terdiam wajah yang keras itu kini terlihat melunak dan ada setitik air mata di wajah itu. Tak ada sepatah kata pun yang sanggup ia ucapkan. Ia hanya terdiam di situ.

Hening sejenak. Ruangan itu mendadak terasa sangat dingin, seperti ada kabut tipis yang perlahan turun.

"Ti an," Diana perlahan menggerakkan tangannya mengapai Tian. Tian segera menggenggam lembut tangan itu "" Lepasin Diana, ya? Di ana udah gak pan tas jadi istri Ti an. Di ana u dah meng khianati Tian. To long le pasin Diana.Tak ada lagi yang bisa kita per ta hankan." Tian tak sanggup menahan air matanya. Mulutnya terkunci rapat. Ia tak tahu harus berkata apa.

Diana mengalihkan pandangannya pada Andra. "Beib, I really love you, but I don't want to put you in a difficult situation. Apa yang kita lakukan salah, tapi gak ada satupun yang Diana sesali.." Andra memotong pembicaraan Diana dengan meletakkan jarinya di bibir cantik Diana. "Sssssttt, udah Sayang, gak perlu diteruskan. Andra udah memilih. Andra udah memutuskan. Mulai sekarang, Andra akan selalu ada buat Ayang. Apa pun yang akan terjadi, Andra akan hadapi. I love you , honey, and you are my world. I can't live without you." Andra perlahan mencium kening Diana, lalu ia menatap Tian dan dengan tegas berkata,"Maaf, Tian. Aku mencintai Diana, izinkan kami bersama. Aku yakin aku lebih bisa membahagiakan Diana di banding kamu. Maaf, tapi aku sungguh tak bisa kehilangan orang yang sangat aku cintai dan kesempatanmu sudah habis. Kau sudah menyia-nyiakannya. Kami saling mencinta, dan kau tak boleh menghalangi kami. Lepaskan dia."

Seribu belati tajam seolah menusuk seluruh jiwa dan raga nya perlahan. Ia tahu ia harus membiarkan mereka bersama. Ia sudah tak berhak menahan Diana, ia telah menyia-nyiakannya. Dan mungkin ini yang terbaik. Mungkin inilah saatnya ia memberikan kebahagiaan pada Diana, dengan membiarkannya bersama orang yang dia cintai. Meski berat, tapi ia harus berdamai dengan keadaan.

"Diana, maaf aku telah menyia-nyiakanmu dan membuatmu menderita. Andra, aku titipkan dia padamu. Aku akan segera mengurus surat-surat perceraian kita. Setidaknya aku akhirnya bisa memberimu kebahagiaan dengan melepaskanmu, Di. Meski sekarang sudah terlambat untuk mengatakan ini, tapi... aku mencintaimu, Di." Tian berkata perlahan dengan suara bergetar." Semoga kalian bahagia." Tian berlalu meninggalkan ruangan itu dengan berat hati. Akhirnya semua harus berakhir karena kebodohannya.

*****
end of story, and they live happily ever after..



By:Dini Nurdiyanti/Skandal

0 komentar: