EPISODE I
“Ma, dia melamarku. Aku bingung, Ma. Dia sahabatku, dan kini dia mengajakku bertunangan. Sudah hampir 7 tahun kami bersahabat.” Diana menghela nafasnya sejenak. Matanya menerawang jauh seolah tengah menelisik langit malam yang kini tak berbintang.
“ Ma,” ia melanjutkan, “Aku takut. Aku tidak siap dengan sebuah keterikatan. Mama tahukan apa yang terjadi saat pernikahan Ira beberapa bulan yang lalu, dia meninggalkan aku, Ma. Dia bahkan mengatakan hal yang sangat menyakitkan. Dia, yang telah cukup lama menjadi kekasih sempurnaku, akhirnya menyakiti aku dengan untaian makinya. Saat itu aku bertekad untuk tidak menikah dalam waktu dekat ini. Mungkin nanti, lima tahun ke depan. Terlebih setelah aku melihat kehidupan rumah tangga kakak-kakakku yang setiap hari selalu dihiasi dengan pertengkaran dan aku juga teringat kehidupan pernikahanmu yang berbalut kisah pilu. Aku semakin yakin aku tidak ingin segera menikah, kecuali aku benar-benar sudah mendapat orang yang sempurna yang tidak akan menyengsarakan kehidupan pernikahanku karena aku belum melihat indahnya sebuah pernikahan dalam kehidupan nyata."
Langit malam berhias kilatan petir yang sesekali menjadikannya terang. Diana masih juga bergelut dengan keraguannya. Rambut hitamnya dia biarkan terurai dan sesekali tersibak angin yang cukup membuatnya merasa perlu untuk merapatkan cardigans kesayangannya. Ia memejamkan matanya sejenak saat langit kembali menjadi gelap setelah kilatan cahaya petir memudar.
“Ma, apa yang harus aku lakukan? Aku bingung, Ma. Dia memang baik dan aku yakin saat ini dia memang sangat mencintaiku. Tapi sampai kapan cinta itu akan ada? Mereka semua juga begitu, sangat mencintai kekasihnya sampai memutuskan ingin segera menikah. Tapi apa yang terjadi saat mereka telah menikah? Sebulan sampai tiga bulan pertama mungkin masih terasa indah, selebihnya.. bagai neraka. Pertengkaran-pertengkaran kecil semakin membesar hingga perlahan mengikis rasa cinta mereka. Lalu?? Aku melihat bagaimana Anwar dan istrinya saling memaki setiap hari sebelum aku berangkat kerja, hanya karena hal sepele. Aku melihat bagaimana Ira yang tengah hamil muda menangis-nangis minta diantar cek kandungan ke dokter karena suami tercinta yang baru ia nikahi beberapa bulan itu menelantarkannya dan lebih memilih untuk hang out bersama teman-temannya. Akulah saksi hidup pernikahan kakak-kakak tersayangku.”
Malam kian larut, keheningan semakin menyeruak. Diana masih juga termenung sendiri di beranda kamarnya. Ia terdiam cukup lama hingga tetesan air mulai turun dari langit dan memaksanya masuk ke kamar tidurnya.
Satu bulan kemudian, di malam yang berbintang, Diana kembali membiarkan dirinya disapu semilir angin malam di beranda kamarnya. Ia tersenyum menyapa bintang. Senyumnya melengkung sempurna bak bulan sabit yang kini tengah menghiasi malam.
“Ma, aku sudah menerima lamarannya. Aku bahkan sudah bertunangan dengannya. Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tak sanggup untuk menolaknya. Aku rasa dia sudah cukup sempurna untukku. Aku bahagia, Ma! Kami akan segera menikah.”
--- to be continued... ---
Dini Nurdianti/Skandal
“Ma, dia melamarku. Aku bingung, Ma. Dia sahabatku, dan kini dia mengajakku bertunangan. Sudah hampir 7 tahun kami bersahabat.” Diana menghela nafasnya sejenak. Matanya menerawang jauh seolah tengah menelisik langit malam yang kini tak berbintang.
“ Ma,” ia melanjutkan, “Aku takut. Aku tidak siap dengan sebuah keterikatan. Mama tahukan apa yang terjadi saat pernikahan Ira beberapa bulan yang lalu, dia meninggalkan aku, Ma. Dia bahkan mengatakan hal yang sangat menyakitkan. Dia, yang telah cukup lama menjadi kekasih sempurnaku, akhirnya menyakiti aku dengan untaian makinya. Saat itu aku bertekad untuk tidak menikah dalam waktu dekat ini. Mungkin nanti, lima tahun ke depan. Terlebih setelah aku melihat kehidupan rumah tangga kakak-kakakku yang setiap hari selalu dihiasi dengan pertengkaran dan aku juga teringat kehidupan pernikahanmu yang berbalut kisah pilu. Aku semakin yakin aku tidak ingin segera menikah, kecuali aku benar-benar sudah mendapat orang yang sempurna yang tidak akan menyengsarakan kehidupan pernikahanku karena aku belum melihat indahnya sebuah pernikahan dalam kehidupan nyata."
Langit malam berhias kilatan petir yang sesekali menjadikannya terang. Diana masih juga bergelut dengan keraguannya. Rambut hitamnya dia biarkan terurai dan sesekali tersibak angin yang cukup membuatnya merasa perlu untuk merapatkan cardigans kesayangannya. Ia memejamkan matanya sejenak saat langit kembali menjadi gelap setelah kilatan cahaya petir memudar.
“Ma, apa yang harus aku lakukan? Aku bingung, Ma. Dia memang baik dan aku yakin saat ini dia memang sangat mencintaiku. Tapi sampai kapan cinta itu akan ada? Mereka semua juga begitu, sangat mencintai kekasihnya sampai memutuskan ingin segera menikah. Tapi apa yang terjadi saat mereka telah menikah? Sebulan sampai tiga bulan pertama mungkin masih terasa indah, selebihnya.. bagai neraka. Pertengkaran-pertengkaran kecil semakin membesar hingga perlahan mengikis rasa cinta mereka. Lalu?? Aku melihat bagaimana Anwar dan istrinya saling memaki setiap hari sebelum aku berangkat kerja, hanya karena hal sepele. Aku melihat bagaimana Ira yang tengah hamil muda menangis-nangis minta diantar cek kandungan ke dokter karena suami tercinta yang baru ia nikahi beberapa bulan itu menelantarkannya dan lebih memilih untuk hang out bersama teman-temannya. Akulah saksi hidup pernikahan kakak-kakak tersayangku.”
Malam kian larut, keheningan semakin menyeruak. Diana masih juga termenung sendiri di beranda kamarnya. Ia terdiam cukup lama hingga tetesan air mulai turun dari langit dan memaksanya masuk ke kamar tidurnya.
Satu bulan kemudian, di malam yang berbintang, Diana kembali membiarkan dirinya disapu semilir angin malam di beranda kamarnya. Ia tersenyum menyapa bintang. Senyumnya melengkung sempurna bak bulan sabit yang kini tengah menghiasi malam.
“Ma, aku sudah menerima lamarannya. Aku bahkan sudah bertunangan dengannya. Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tak sanggup untuk menolaknya. Aku rasa dia sudah cukup sempurna untukku. Aku bahagia, Ma! Kami akan segera menikah.”
--- to be continued... ---
Dini Nurdianti/Skandal
0 komentar:
Posting Komentar