Friendship

“Chika aku merasa ngantuk,mataku sulit di buka…”, bathin Eri.


Badannya telentang di rumput basah yang agak lembab. Wajahnya menghadap ke langit gelap. Awan-awan hitam bergelayut menutupi wajah sang rembulan, terlihat bintang yang bersianr namun awan menutupnya kembali.


“Chik…kamu pasti ingat ketika kita kecil dulu, sering main bersama di kebun belakang rumahmu yang penuh dengan pohon-pohon..mangga, jambu, lengkeng dan jika sudah masa panen tiba, sambil memegang perut karena kekenyangan kita berbaring di rumpur sambil menatap langit biru..putih. Kau sering menginap di rumahku, begitu juga sebaliknya. Malamnya kita perang bantal, curhat, jika lelah menghampiri kita hanya duduk berdua di jendela kamar. Menatap langit malam berharap melihat berjuta bintang. Sekarang mana mungkin melihat itu di kota yang penuh dengan polusi, paling-paling hanya satu atau dua saja yang terlihat. Makanya sekarang aku ingin sekali melihat berjuta bintang kembali di bawah langit gunung Kerinci ini. Tapi mengapa gelap begini?”.


Sejenak Eri menghela nafas diantara lamunannya.


“Chika, mataku ngantuk. Panas, badanku kepanasan. Dari kecil kita sudah saling mengenal karena rumah kita memang tak berjauhan. Kita selalu bersama ke sekolah. Tapi Chik, aku tidak mengerti, mengapa harus ada perpecahan diantara kita hanya seorang Deni? Kuakui dia memang menarik, kita sama-sama mengenalnya di SMA. Dia baik, perhatian pada kita sehingga tumbuh bunga kasih di sela hatiku. Kamu juga! Dan Deni juga! Ironis ya? Chik, kamu tidak jujur tentang Deni. Kamu suka pada Deni dan Deni pun begitu. Tapi mengapa aku harus tahu dari Anti, biang gosip di kelas kita?Aku marah! Tega kau membohongi sahabatmu sendiri. Kenapa tidak menceritakan sendiri padaku tentang hubungan kalian? Karena ingin menjaga perasaanku? Tapi bukan jauh lebih baik, walaupun mungkin hatiku hancur. Dan itu tidak akan mengubah hubungan kalian.”


Eri menghela nafas dalam, hatinya ingin sekali menjerit keras.


“Chika, perutku mual, badanku beku. Aku tidak kuat lagi, aku ingin tidur. Aku disini, di tengah hutan gunung Kerinci, dalam alam yang sunyi senyap sendiri. Dalam kemarahanku padamu, kuputuskan untuk ikut dalam pendakian bersama teman-teman se klubku pecinta alam tanpa memberitahumu. Aku kini sendiri. Aku terpisah dari rombongan. Mungkin karena aku linglung, pikiranku kacau, aku marah! Chik, kau mestinya tahu jika alam punya insting sendiri pada pendatangnya. Aku tersesat! Aku harus terus berjalan tanpa arah untuk menemukan teman-temanku. Ah, entahlah merasa lelah…lelah sekali.”


Mata Eri tertutup rapat walaupun masih terjaga dengan masih bisa merasakan semilir angin berhembus menerpa tubuhnya yang tak bertenaga.


“Chik, aku egois! Tidak mau mengerti perasaanmu. Di depan orang-orang aku bisa memakai topeng ketegaran, padahal kau tahu betul kalau aku cengeng dan manja, pribadi yang lemah. Saat ini sifat-sifat jelek ini muncul bersamaan. Jika kesempatan itu masih ada, aku ingin mohon maaf padamu. Sekarang ku biarkan angin yang berhembus menyampaikannya beserta rasa cintaku padamu dan Deni. Kurasa aku mau tidur dulu…bangunkan aku besok.”


Eri terlelap selamanya…

Hujan turun membasahi bumi.


***

“Dimana kau,Eri?”.


Pertanyaan yang diucapkan berkali-kali oleh Chika sedari tadi. Chika hanya terduduk tertegun di beranda teras rumahnya.


“Aku merasa kehilanganmu, demikian juga Deni yang mencintaimu! Dia mencintaimu, wanita bodoh!”


Angin malam berdesir menerpa wajahnya. Chika terdiam. Sebagian dirinya telah hilang.



by Evi Sri Rejeki/Sandiwara


Catatan : Disadur dari SIAH edisi 1/23 Maret 2001

0 komentar: