Mutasi

Kala itu, aku berjalan disana. Ditempat yang aku tahu itu buruk saat ini. Berjalan seolah berada dijalan yang benar, tepat dan baik. Bagai menulis sejarah tanpa ada kata yang salah. Ada yang sadar, tapi tidak pernah menyadarkan. Dan siapa yang tahu bila aku melakukannya dengan penuh kesadaran? Bahkan dengan sedikit obsesi. Sadar melakukannya dengan perhitungan mantap ala logika, juga rapih dan indah ala estetika. Tapi tersadar jauh dari nilai etika. Elemen kunci yang terlupakan, atau mungkin tidak tahu? Entahlah. Yang jelas sudah terlambat. Terlambat sadar, lebih baik terlambat sadar daripada tidak pernah sadar tentunya.

Kini aku dicegat rasa sesal. Terpaku dan terdiam untuk sesal. Seharusnya aku... Ssssttt!!, sudahlah untuk apa terus menyesal?. Itu hanya akan membuang banyak waktu, waktu untuk mengingat kembali kesalahan, kesalahan yang selalu manusia jauhi, dan ternyata aku lebih banyak berbuat kebenaran yang samar, tidak kasat mata.

Kadang aku benci ketika guruku, pengalaman, datang menasehati. Kenapa dia harus datang ketika sebuah cerita berakhir sebagai kesimpulan? Berbicara berbelit-belit sehingga aku harus mencari sendiri hikmahnya. Pengalaman bukan guru yang terbaik. Bukankah diantara kita pasti selalu ada yang disakiti oleh pengalaman? Termasuk aku. Semua pasti punya pengalaman, pengalaman dengan benang-benang merah yang sama dengan kita. Belajarlah dari cerita mereka.

Aku belajar dengan melihat, mendengar, dan membaca. Kini banyak cerita yang kudapatkan. Sudah membentuk 1 buku. Hanya ada dua Bab didalamnya. Bab I Pengalaman Pribadi, isinya cerita panjang pengalaman pahit dan manis selama aku hidup hingga detik ini. Bab II Pengalaman Mereka, isinya tentu seputar cerita singkat dari mereka. Bab I tidak setebal Bab II, karena banyak cerita pribadiku yang telah ada rumusannya di Bab II. Aku juga lebih lama menulis Bab I dibandingkan Bab II, aku membutuhkan waktu yang panjang untuk menulis rangkaian sebuah cerita hidupku, walaupun berakhir hanya dengan satu kesimpulan. Bandingkan dengan kecepatanku menulis rumusan cerita mereka. Sangat singkat. Rumusan yang berisikan masalah dan solusinya. Bahkan lengkap dengan variabel situasi dan kondisinya. Dan buku itu ada di dalam otakku. Password-nya ”Menakjubkan”.

Tentu saja otakku berisikan sel-sel di dalamnya. Seluruh materi yang pernah masuk kedalam mulutkulah yang akan menjadi pembentuk sel-sel otakku. Tanpa terkecuali. Jika aku berhenti memakannya, sel-sel itu akan tetap membelah tanpa henti senada dengan nafasku. Jadi akan percuma jika aku perbaiki kini. Dan deretan panjang pengalaman manusia akan mengisi dan menghidupi seluruh bagian sel hingga yang terkecil sekalipun, gen. Inilah yang membedakan aku dan kamu.

Tidak akan pernah lepas dari pengalaman. Pengalaman akan tumbuh di lingkungan, lingkungan kita. Tanpa terasa lingkungan telah mendikte aku cukup panjang. Hingga suatu saat aku memiliki kekuatan, kekuatan mengendalikan diri yang cukup kuat, dengan gen yang kokoh. Inilah lalu yang ku sebut sebagai jati diri dimana seluruh prinsip hidup telah kurasa miliki.
Prinsip omong kosong. Semakin kuat ku genggam perinsip itu, semakin hancur dibuatnya. Lingkunganlah salah satu penyebabnya. Waktu dan lingkungan menjadi dua kata yang saling bergandengan mesra. Perlahan, bahkan kadang drastis melunturkan nilai-nilai yang telah kurasa baku. Apalagi kalu bukan karena materi penyusun gen itu telah berubah susunannya, seperti susunan puzzle yang salah. Mutasi.

Aku berubah. Saat aku merasa lebih nyaman dengan aku dan prinsip yang baru, melangkah percaya diri. Entah hingga kapan ini akan tetap baru. Karena di depanku kini, telah ada aku yang lebih baru menanti untuk di coba. Entah kapan dan dimana. Tunggu saja.
Menjadi suatu senyuman untuk lingkungan yang baru, karena aku telah menjadi apa yang aku lihat. Namun apa kata lingkunganku yang dulu? Aku telah bermutasi lebih buruk. Mengecewakan!. Atau sebaliknya? Biar sejenak ku pikirkan.

Berharap mutasiku berakhir dengan sebuah keunggulan, ternyata salah. Manusia akan terus bermutasi tanpa henti. Seperti mengemudi, aku harus tetap melihat jauh kedepan dan berhati-hati. Tidak lupa untuk melihat kebelakang sesekali. Terutama sebelum aku akan bermutasi ke kanan atau ke kiri, melihat dulu sejarah dan pengalamanku. Aku yakin akan selamat sampai tujuan, impianku.

By Tubagus Aryandi Gunawan/Fase

0 komentar: